Selasa, 30 April 2013

Lombok – Putri Mandalika – Cinta Perempuan Mulia Dalam Dilema Pahit



(Bagian 4)


Hari itu, pagi senin yang indah. Mandalika membuka jendela kamarnya. Ia ingin melihat warna merah langit pantai di pagi hari. Setelah tiga malam berturut-turut berada di ruang semedi. Tafakkur bersama rasa, mencari petunjuk Ilahi. Pagi ini ia pamit meninggalkan ruang sakral itu, setelah selesai sholat subuh. Lalu dikawal oleh para dayang menuju kamar pribadinya. Para dayang itu tampak ikut bahagia, dan saling berbisik diantara mereka, karena melihat Putri Mandalika lebih ceria. Tampak sangat bahagia di wajahnya. Para dayang itu kemudian pamit pada sang putri, setelah melihat sang putri nampak bahagia, dan sangat ceria. Mereka meninggalkan kamar untuk berjaga di luar pintu kamar. Dan menyiapkan segala kebutuhan putri, seperti yang biasa mereka lakukan di pagi hari di luar kamar sang putri.

Putri sendirian di kamarnya. Ia tersenyum bahagia, merasa segala sesuatu telah selesai. Beban telah pergi. Hidupnya terasa ringan, seperti sehelai bulu melayang di udara. Mandalika menjulurkan kepala lewat jendela kamar. Ditatapnya langit merah pagi di pantai itu. Dinikmatinya. Ia begitu bersyukur pada Tuhan, karena keindahan alam itu sempat mampir dalam hidupnya pagi itu. Ia sadar kesempatannya menikmati pagi sudah tak banyak lagi. Tinggal 11 hari lagi. Karena ia harus menjalani kehidupan yang lain bersama cintanya. Kehidupan yang berbeda. Kehidupan yang begitu indah. Sebuah kehidupan impiannya yang akan menyirami setiap manusia dengan harapan dan kebahagiaan. Suatau kehidupan, diamana ia akan menjadi milik setiap orang, milik setiap insan, bahkan milik alam semesta. Bukan hanya menjadi milik orang-orang tertentu yang serakah.


Ia begitu yakin dengan apa yang diperolehnya selama tiga malam di ruang semedi. Sesuatu yang datang kepadanya sejak malam pertama. Merupakan jawaban dari teka-teki kehidupan dan dilema cintanya selama ini. Teka-teki panjang yang telah membuatnya cukup lama menderita, sampai menjadi kurus kering. Ia mencoba mencari jawaban lain pada malam kedua dan ketiga dalam semedinya. Tapi hal yang persis sama datang tiga malam berturut-turut. Seperti apa bentuk fisik sesuatu yang mendatanginya? Tidak ada yang mengetahui. Karena Putri Mandalika merahasiakan hal ini. Sang putri tidak mau menceritakan bentuk fisik.
Sumber Foto: http://lombokituindah@facebook.com

Ia seorang perempuan, tapi juga seorang manusia bijak. Sangat bijak untuk ukuran seorang manusia yang bukan Nabi. Ia hanya menceritakan isi pesan itu kepada Ayah dan Bundanya. Itupun ia sama-sekali tidak menjelaskan apa makna yang sesungguhnya dari pesan itu. Sehingga Ayah dan Bundanya sebenarnya tidak mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi sebagai akibat nyata dari pelaksanaan pesan itu”, kata Adhe menjelaskan. Aku terdiam mendengarkan penjelasan Adhe. Malah aku jadi terlibat juga untuk berpikir. Karena penjelasan Adhe sebenarnya tidak jelas. Aku tidak ngerti apa maksudnya. Mungkin sama seperti tidak ngertinya sepasang Raja dan Ratu yang menjadi ayah dan ibunya Mandalika itu.


Putri Mandalika harus menjadi Nyala, menjadi Cahaya, menjadi Sinar. Itu adalah satu-satunya kejadian yang diperlukan, jika ingin dimiliki oleh semua manusia. Bahkan semua makhluk di alam semesta ini. Maka dengan Nyala cahaya atau sinar cinta yang menyirami alam semesta ini, ia akan bermanfaat dan membahagiakan siapapun, bahkan makhluk apapun”, kata Adhe menegaskan. Aku malah tiba-tiba jadi sakit kepala. Tambah pusing dengan cerita Adhe. Penjelasannya makin samar, makin remang, bahkan makin gelap. Meskipun yang dijelaskan itu tentang cahaya, tentang sinar, tentang nyala. Bagaimana mungkin manusia berubah jadi cahaya atau sinar? Bagaima mungkin ia bisa jadi nyala? Apakah sang putri cantik itu akan membakar dirinya? Supaya menyala? Pertanyaan seperti ini menggerayangi otakku, berseliweran dalam pikiranku sendiri. Tapi aku tidak mau mengatakannya pada Adhe. Ada perasaan tidak enak, kalau nanti aku dikira bodoh. Dikira kurang analitis, kurang pintar. Tiba-tiba aku merasa geli, bakal ketahuan kalau aku jarang baca buku.
Sumber Foto: http://bloggers.com

Iya, seperti itulah pesan yang diterima. Ini bukan soal logis atau tidak logis. Entah seperti apa akhirnya dalam fakta, tidak pernah dijelaskan oleh Putri Mandalika sebelum ia benar-benar melakukan tindakan terakhir”. Aku terperanjat. Benar-benar terperanjat dengan penjelasan Adhe. Ini penjelasan yang persis seperti menjawab pertanyaanku dalam pikiranku sendiri yang tidak pernah kuucapkan. Aku berusaha menyembunyikan rasa malu, karena ternyata Adhe seperti mengetahui kalau aku sebenarnya tidak memahami ceritanya dari tadi. Aku berusaha tersenyum, supaya rasa malu yang menyebabkan rona merah di wajahku tidak terlalu kentara. Adhe juga tersenyum membalas. Aku lega. Kunikmati saja senyum indah dari wajah teduh itu. Senyum itu pasti bukan sekadar untuk menetralkan suasana. Bukan sekadar untuk menutupi rasa malu yang sedang aku rasakan.


Siang itu kami berada di Pantai Tanjung Ann. Sebuah pantai indah dengan air begitu tenang hampir tak berombak di siang hari. Hanya di beberapa sudut pantai terlihat ombak-ombak kecil. Berkecipak membentuk garis-garis putih. Bergerak pelan, lalu menerpa pasir coklat dengan lembut, tanpa suara. Pasirpun tak bergerak sama-sekali dalam guyuran ombak-ombak kecil itu. Mereka seperti tak peduli dengan prilaku air dan angin yang bekerjasama cukup rapi menciptakan ombak. Lereng bukit di sebelah timur kami tampak menghijau dipenuhi pohon-pohon kelapa setengah baya. Lempeng bukit yang permukaannya lebih tinggi ditumbuhi semak belukar dan beberapa pohon besar. Di laut tenang di sebelah kanan kami tampak sebuah sampan kecil berwarna biru. Namum biru langit di atas kawasan pantai ini jauh lebih tua, dan lebih kental. Bahkan sangat kontras terhadap warna biru apapun di sekitar pantai saat itu.


Putri Mandalika segera menyampaikan hasil semedi kepada Raja dan Permaisuri. Kedua beliau menyetujui tindakan yang segera akan dilakukan oleh putrinya yang sangat dicintai dan menjadi harapan masa depan rakyatnya”, Adhe melanjutkan ceritanya. Sikap bijak ternyata bukan hanya milik Putri Mandalika. Sebagai pemimpin negaranya, dan sebagai Ayah bagi sang putri, Raja Tonjang Beru juga bersikap sangat bijak. Beliau tidak menawarkan solusi apapun kepada anaknya yang diketahui cukup lama menderita itu. Beliau tidak ingin menambah penderitaan itu. Keputusan cara pemecahan masalah yang disampaikan oleh sang putri disambut dengan tersenyum. Meskipun itu bukan keputusannya sendiri, tapi sang raja berjanji akan mendukung dan menyediakan segala fasilitas yang diperlukan oleh putrinya. Karena diperlukan untuk penyelesaian masalah yang sudah lama mereka tanggung bersama dengan penderitaan dalam pikiran masing-masig.
Sumber Foto: http://andriyaniwidya.wordpress.com

Raja Tonjang Beru dan Permaisuri merasa lega dan luar biasa bahagia. Berbeda dengan hari-hari, minggu-minggu, dan bulan-bulan sebelumnya. Pasangan Raja dan Ratu ini selalu resah, karena khawatir dengan nasib anaknya, rakyatnya, negaranya, dan juga nasib dirinya sendiri. Beliau sangat mengerti juga penderitaan yang dirasakan oleh putrinya yang sampai menjadi kurus kering. Sang putri menanggung pikiran berat atas ancaman dua pangeran yang meminangnya. Tapi saat ini, setelah mendengar keputusan putrinya, ia mulai bisa tersenyum. Hari-harinya mulai cerah. Hidupnya mulai bergairah.
Sumber Foto: http://tuztoez.deviantart.com

Raja memanggil para patih, Arya, dan para petinggi kerajaan Tonjang Beru yang dipimpinnya. Mereka bermusyawarah untuk menyiapkan segala sesuatu untuk mendukung rencana Putri Mandalika. Para patih dan petinggi kerajaan turut berbahagia setelah mendapat penjelasan langsung dari Raja. Mereka menyampaikan rasa syukur atas ditemukannya cara penyelesaian masalah oleh sang putri. Setiap orang siap untuk mendukung, mengerahkan masyarakat kerajaan dan menyediakan segala sesuatu yang diperlukan. Mereka merasa bahwa Putri Mandalika telah menyelamatkan mereka. Telah menghindarkan mereka dan seluruh rakyat Kerajaan Tonjang Beru dari petaka perang berdarah.
Sumber Foto: http://lombokgilis.com

Kenapa kamu seperti tertidur?” Suara Adhe mengagetkan aku dalam lamunan. Ternyata ia baru memperhatikan kelakuanku. Sudah dua jam lebih kami duduk berdampingan dengan bersandar pada tebing, menghadap ke laut. Tapi selama itu juga pikiran dan perhatian kami berpisah jauh. Aku tidak ingat lagi sudah berapa jauh cerita Adhe mengalir meninggalkan pikiranku. Atau sudah berapa tinggi pikiranku terbang melayang di angkasa meninggalkan setiap kalimat yang diceritakan Adhe.
Sumber Foto: http://lombokindonesia.org

Tapi aku bersyukur, karena sekarang Adhe malah tertawa melihat sikapku yang gelagapan. Ia paham kalau aku sama-sekali tidak mengikuti ceritanya selama aku tenggelam dalam lamunan. Aku merasa beruntung, Adhe tidak menyuruh aku mengulang apa yang tadi sudah diceritakannya. Berbeda dengan guru sejarahku dulu waktu SMP kelas II. Beliau menyuruh aku untuk mengulang penjelasannya. Gara-gara beliau melihat aku sedang mencoret-coret buku gambar ketika beliau menjelaskan tentang Ken Dedes. Padahal pada waktu yang sama aku sedang menggambar perempuan cantik siswi kelas sebelah. Karena aku membayangkan siswi tersebut mirip dengan Ken Dedes yang konon cantik.
Lamunanku sebenarya mulai dari pikiran tentang Putri Mandalika yang akan berubah menjadi Cahaya, Sinar, atau Nyala. Jadi, sang putri akan bercahaya, bersinar, atau seperti menyala. Dalam lamunan itu, aku kemudian mengumpamakan Putri Mandalika seperti matahari. Cahaya, Sinar, atau Nyala yang dimiliki itu akan menyentuh seluruh jagad. Memberi kehangatan bagi yang kedinginan. Mengeringkan yang basah. Menguapkan air laut menjadi awan, lalu jatuh berguguran menjadi hujan. Menerpa permukaan daun-daun tumbuhan hijau, lalu bekerjasama melakukan fotosintesa, sehingga tumbuhan hidup sempurna, berbunga dan berbuah.

Sumber Foto: Adhe, Dokumen Pribadi

Cahaya matahari juga mencium kulit manusia di pagi hari, lalu membantu proses pembentukan pro-vitamin D yang diperlukan bagi hidup manusia. Memberi suhu yang tepat pada sampah, tanah, dan bebatuan, sehingga bakteri dapat hidup sempurna, kemudian dapat melakukan proses pelalpukan, lalu berubah menjadi tanah subur bagi pertanian. Dan masih banyak lagi hal lain yang dapat dilakukan, sampai tak mungkin dapat diungkap seluruhnya dalam lamunanku. Dan semua peristiwa itu bermanfaat bagi manusia dalam hidupnya, bagi binatang, tumbuhan, dan bahkan bagi alam semesta.
Aku sempat berpikir agak logis dalam lamunan itu: “mungkin si Mandalika itu sebenarnya bukan manusia, tapi sesuatu yang lain, sesuatu yang memang Cahaya, Sinar, atau Nyala.” Fikiran semacam itu terbersit dalam otakku karena aku membandingkan dengan manusia saat ini. Tidak ada manusia yang bermimpi untuk mengorbankan cintanya, agar dirinya bermanfaat bagi seluruh manusia. Apalagi bagi seluruh makhluk selain manusia. Bahkan saat ini, di siaran TV kita sering mendengar manusia berpendidikan malah dengan sengaja merugikan manusia lain. Manusia bergelar doktor, atau profesor, dan menjadi salah satu pemimpin dalam struktur pemerintahan sebuah negara Pancasila, tapi mereka dibahas dalam Acara Talk-Show secara terbuka, bahwa mereka korupsi, merugikan rakyat banyak.

Sumber Foto: lombokituindah@facebook.com

Kemudian aku berpikir lagi tentang istilah Cahaya, Sinar, dan Nyala. Tujuanku, mungkin dengan mencoba mengkaji istilah-istilah dari tiga kata ini aku bisa menemukan jawaban, atas teka-teki tentang Putri Mandalika yang luar biasa itu. Dalam bahasa sasak (bahasa Masyarakat Lombok), istilah Cahaya atau Sinar, disebutnya jadi satu kata: “Cahya” (satu huruf a tidak dibaca). Misalnya cahaya bulan, atau sinar bulan, disebutnya: “Cahya Bulan”. Sedangkan kata Nyala, juga dapat menggambarkan tentang cahaya atau sinar. Tapi dalam langgam bahasa sasak yang disebut “kelantum basa”, kata Nyala itu diucapkan dengan sebutan bunyi: “Nyale” (huruf a yang terakhir berubah jadi huruf e dalam bunyi ucapan). Misalnya nyala api, diucapkan dengan bunyi: “Nyale Api.”

Tapi akhirnya aku hampir putus asa, karena segala bentuk lamunanku tak dapat menjawab teka-teki tentang seorang Mandalika. Ketika otakku sudah mentok dan malah mampet, Adhe mengajakku berjalan lagi menyusuri pantai. Mungkin maksudnya supaya aku tidak melamun lagi. Supaya aku lebih memperhatikan ceritanya yang makin mengalir. “Akhirnya, Raja Tonjang Beru mengundang para pangeran dari enam kerajaan itu”, kata Adhe menyambung ceritanya lagi. Sebenarnya pemandangan laut di pantai tempat kami sedang berjalan sangat menarik untuk dinikmati. Tapi aku tidak menoleh sedikitpun ke arah pemandangan indah di sebelah kanan kami. Aku menahan keinginanku, karena rasa tidak enak pada Adhe. Tadi aku sudah kepergok sedang melamun, lebih dari dua jam tidak mendengar ceritanya.
Sumber Foto: http://billocaltransport.com

Masing-masing dua orang Arya diutus sebagai pembayun (duta wacana) sekaligus menyampaikan undangan resmi kepada setiap pangeran. Undangan disampaikan kepada enam kerajaan yang pangerannya pernah melamar untuk menyunting Putri Mandalika. Dalam undangan dijelaskan, bahwa Kerajaan Tonjang Beru mengundang mereka secara resmi untuk menghadiri upacara penyampaian keputusan tentang lamaran mereka. Dan disebutkan, bahwa keputusan akan disampaikan langsung oleh Putri Mandalika, didampingi oleh Raja dan Permaisuri.

Dalam undangan resmi itu dijelaskan juga, bahwa Putri akan menguraikan segala alasan yang paling bijak, bagi yang lamarannya diterima maupun ditolak. Seluruh penjelasan tersebut, akan disampaikan dalam bentuk Lawas, yang disebut Lawas Sambat Mandalika. Tujuan semua ini, adalah agar pangeran yang lamarannya diterima tidak berlebihan dalam bersikap. Sebaliknya, para pangeran yang ditolak dengan alasan yang tepat, sopan, teduh dan sejuk, dimohon agar dapat memahami keadaan, dan dapat menerima kenyataan. Agar tidak menyimpan dendam. Sehingga tujuh kerajaan pantai selatan Lombok tetap dalam hubungan persahabatan yang saling menghormati dan saling mendukung dalam kebaikan.
Sumber Foto: Adhe, Dokumen Pribadi

Dalam surat yang sangat panjang itu, diminta agar setiap pangeran menyertakan kehadiran para petinggi kerajaan masing-masing, beserta rakyatnya, sejauh tidak berhalangan berat. Karena pernyataan keputusan Putri Mandalika ingin disampaikan secara terbuka tanpa rahasia apapun. Tujuannya agar tidak menjadi beban bagi siapapun, tidak menimbulkan prasangka baru, dan terhindar dari segala bentuk fitnah. Acara puncak yang dapat disaksikan seluruh undangan, akan diisi langsung oleh Putri Mandalika. Waktu untuk acara puncak tersebut, pada dinihari, sebelum tiba waktu fajar, pada tanggal 20, bulan 10 dalam Kalender Penanggalan Sasak Lombok. Secara kebetulan waktu itu jatuh pada malam Jum’at. Bertempat di Pantai Kute, yaitu salah satu pantai dalam wilayah Kerajaan Tonjang Beru.
Sumber Foto: Adhe, Dokumen Pribadi

Pada akhirnya, sebuah upacara untuk mendengarkan dan menerima keputusan Putri Mandalika dilaksanakan. Merupakan menit-menit terakhir bagi sang putri menanggung beban cintanya. Saat-saat bahagia bagi pangeran yang lamarannya diterima. Dan saat-saat penantian terakhir bagi para pangeran yang tak beruntung, karena ditolak. Tak ada lagi mimpi indah tempat pangeran tersebut menyandarkan harapan untuk diterima lamarannya”. Adhe menegaskan dengan penuh semangat. Saat ini Adhe tidak nampak bersedih sedikitpun dalam menjelaskan ceritanya. Mungkin pada babak cerita ini Putri Mandalika seolah-olah berada pada pihak yang menang. Sehingga sebagai bagian dari kaum perempuan, Adhe merasa di atas angin. Wajahnya sangat cerah. Tampak begitu bahagia.
Sumber Foto: http://yogilombok.blogspot.com

Lima hari sebelum waktu pelaksanaan yang tertulis dalam undangan, para peserta sudah mulai berdatangan. Terutama masyarakat umum dari wilayah 6 kerajaan yang diundang. Para petinggi kerajaan dan para pangeran memang datang hanya sehari sebelum waktu acara dilaksanakan. Tapi rakyat mereka berbondong-bondong sudah datang lebih dulu. Pada umumnya setiap keluarga datang bersama seluruh anggota keluarganya. Ayah, ibu, anak, ponakan, paman, bibi, kakek, nenek, eyang, buyut, ipar, dan sebagainya. Semua datang berkumpul di Pantai Kute untuk menyaksikan. Sepanjang sisi pantai Kute sampai Pantai Seger penuh dengan tenda-tenda untuk penginapan mereka. Bahkan bagi mereka yang tidak mendapat petak lokasi sebagai tempat mendirikan tenda penginapan di sekitar sisi pantai tersebut, mereka mengambil tempat berjejer ke ararah timur lagi, sampai di Pantai Tanjung Ann dan Pantai Mawun.
Sumber Foto: Adhe, Dokumen Pribadi

Khusus untuk para pangeran beserta para petinggi kerajaan, mereka mengutus sekelompok tukang bangunan dari negara mereka masing-masing. Para tukang ini sudah tiba di lokasi tiga hari sebelumnya. Mereka ditugaskan seecara khusus untuk membangun tempat penginapan yang cukup layak bagi pangeran mereka, dan bagi para petinggi kerajaan. Mereka datang membawa bahan kayu, bambu, rotan, atap, dan pagar anyaman secukupnya yang diangkut menggunakan sejumlah kuda. Setiap kerajaan juga mengutus sekelompok Juru Masak. Bahan makanan juga diangkut dengan kuda yang memang menjadi alat transportasi bagi keperluan kerajaan.
Sumber Foto: Adhe, Dokumen Pribadi

Tibalah hari yang dinanti-nantikan. Sejak siang hari, seluruh Pantai Kuta, bahkan ke arah timur sampai pantai Tanjung Ann penuh dengan manusia. Samudera Hindia di selatan Pulau Lombok saat itu seperti sedang berlomba dengan Samudera Manusia di tepi pantai. Kehidupan di pantai Kute seperti kehidupan di sebuah ibukota selama empat hari terakhir. Lampu-lampu dari buah pohon jarak berkedip di setiap tenda yang berserakan di bibir pantai. Lampu-lampu di tenda para pangeran tampak lebih mewah. Tempat begadang para petinggi kerajaan ini menggunakn lampu dari kerajinan tanah liat atau dari bahan logam. Bahan bakarnya dari minyak tanah. Setiap kerajaan menyediakan fasilitas bagi para utusannya. Sejumlah orang yang berbakat bisnis memanfaatkan keadaan itu untuk mencari keuntungan. Mereka menjual obor dari bambu, minyak tanah,  makanan, mainan anak-anak, dan barang-barang kerajinan. Terutama masyarakat dari Kerajaan Tonjang Beru. Bahkan sejak 4 malam sebelumnya kegiatan jual beli sudah mulai ramai.
Sumber Foto: lombokituindah@facebook.com

Selain itu, masing-masing kelompok masyarakat dari wilayah 6 kerajaan yang diundang juga sejak 4 malam sebelumnya sudah mementaskan kesenian mereka sebagai hiburan. Kegiatan-kegiatan ini terus berlangsung pada siang dan malam selama menanti tibanya saat acara puncak. Mereka tidak peduli dengan cuaca yang tidak terlalu bersahabat, karena saat itu mamang musim hujan. Ada kesenian Cupak-Gerantang, Jangger, Kayak, Legong, Tandak, Monyeh, Drama Sandubaya, Wayang Kulit, Memaos Babad, Perisean, Belanjakan, Pencak Silat, dan berbagai macam kesenian lainnya yang sedang berkembang di Pulau Lombok pada zaman itu.
Sumber Foto: lombokituindah@facebook.com

Saat itu sungguh merupakan saat yang berbahagia bagi masyarakat semua kerajaan yang hadir di pantai selatan Lombok. Segalanya berlangsung damai, aman, bahagia, dan bersahabat. Tidak ada pihak yang melakukan hal-hal yang menyimpang dari adat, tata-krama, dan sopan-santun yang pada umumnya dijunjung oleh masyarakat Sasak Lombok. Bahkan saat-saat indah itu dimanfaatkan sebagai ajang persahabatan antar kelompok masyarakat dari kerajaan yang berbeda.
Sumber Foto: lombokituindah@facebook.com

Para tokoh adat saling bersilaturrahim. Para pemuda saling berkenalan dan mulai melakukan hubungan persahabatan yang dapat berlanjut menjadi kerjasama saling menguntungkan. Lebih jauh lagi, sejumlah muda-mudi menggunakan saat indah itu untuk mengawali hubungan persahabatan yang kemudian berlanjut menjadi hubungan asmara. Tidak sedikit di antara pasangan muda-mudi itu pada akhirnya menyepakati hubungan mereka berlanjut. Setelah beberapa tahun kemudian mereka mengakhiri masa lajang karena sepakat menuju jenjang pernikahan. Pernikahan muda-mudi antar negara dari beberapa kerajaan di Lombok pada masa itu.
Sumber Foto: lombokituindah@facebook.com

Pada saat itu, malam Jum’at. Atau Jum’at dinihari, tanggal 20, bulan 10 dalam penanggalan Kalender Sasak Lombok. Putri Mandalika muncul di pantai ini, untuk menghadapi 6 kerajaan. Mengumumkan secara terbuka keputusannya”, kata Adhe, melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat berapi-api. Sebagai seorang putri raja, Mandalika . . . . . . . . . . . . . . ..............(Bersambung




Daftar Sumber Foto



Daftar Referensi

Bahan diskusi dan bacaan sebelum menulis artikel ini bersumber dari:
Anonim, 1992 – 2012. Cerita tentang Putri Nyale dari mulut ke mulut, dari para tetua di Desa Jerowaru dan Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Mamiq Hartawang, 1992. Cerita dan diskusi secara langsung untuk belajar tentang legenda Putri Nyale. Mamiq Hartawang (Almarhum) adalah mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat Desa Jerowaru. Nenek moyang beliau berasal dari Gunung Pujut Lombok Tengah, konon sekitar tempat beradanya Kerajaan Tonjang Beru.