Sabtu, 23 Maret 2013

Lombok – Menyambut Impian di Tebing Tanjung Ringgit.



Tebing Tanjung Ringgit. Sebuah tebing indah yang menjadi pantai. Karena setiap yang melihatnya lebih suka menyebutnya pantai. Karena mereka diajak mengalir oleh rasa, bukan oleh logika, bukan dengan fakta fisik. Beranjak mengikuti rasa yang mengalir bersama pikiran ketika takjub menatap. Rasa yang mengalir mengusik setiap sel dalam sekujur tubuh. Menyentuh lembut, seperti menghitung butir-butir darah yang tak pernah putus bergulir. Rasa yang semakin dalam menyentuh jiwa. Menggenangi seluruh pikiran. Membangun segenap mimpi dengan cinta. Untuk melangkah, menemukan sebuah titik impian. Pada titik itu, cinta dapat tumbuh tanpa upaya. Adalah titik karunia dari cinta itu sendiri.

Kenapa kamu sedih?”, tanya Adhe sambil tersenyum saat itu. Suara itu sangat lembut. Tapi aku merasa seperti disambar petir. Mungkin karena aku tak ingin gadis itu mengerti apa yang aku rasakan. Aku ingin menyembunyikan jurang terjal itu. Sebuah jurang yang harus kulalui sendiri tanpa membuat Adhe harus ikut bersedih. Tanpa membuatnya harus menyumbangkan cucuran keringat dan melepas peluh. Apalagi jika ia harus menitikkan air mata. Karena mata itu terlalu indah untuk dipaksa meneteskan air bening dari sudut-sudutnya. Ini adalah sebuah jurang yang harus segera menjadi masa lalu. Ia hanya berhak untuk tersimpan rapi, menumpuk dalam museum jiwa.Tanpa pernah dibongkar lagi. Tanpa perlu dipersalahkan keberadaannya sebagai jurang terjal. Bagaimanapun, ia pernah berani hadir menjadi bagian dari jalan hidupku. Meski tak seindah Tebing Tanjung Ringgit yang saat ini sedang dalam tatapanku.

Aku agak tersipu, karena Adhe malah tertawa melihat kejanggalan sikapku. Sikap yang gagal untuk menciptakan keadaan yang dapat menipu. Sikap yang membenturkan dua hal yang berada pada sudut berbeda. Galau di sudut hati karena harus melalui jurang terjal. Dan keindahan tebing di sudut-sudut mata yang seharusnya dinikmati dengan rasa dan dimanfaatkan oleh jiwa. Untuk menyambut hadirnya sebuah titik tempat impian ditemukan.

Dua sudut itu seperti bergerak mengikuti satu garis lurus kearah berlawanan. Lalu berbenturan tepat pada titik tengah garis. Galau di sudut hati pecah berkeping-keping. Pada saat menapakkan kaki pada ujung garis itu, galau hancur menjadi puing-puing yang pantas untuk dilupakan, persis ketika jalan terjal itu dilampaui. Lalu, keindahan tebing di sudut mata segera bergegas. Membimbing aku berjalan di tanah lapang yang hijau di atas tebing. Keindahan itu mengalir sejuk menyirami bathin dan jiwa yang damai. Memapah dan menuntun aku melangkah yakin menuju titik yang sedang kucari. Titik keindahan yang sudah di depan mata. Aku merasa tenggelam dalam air bening kebahagiaan yang begitu menyelimuti. Sedikitpun aku tidak menyadari kalau saat ini aku sedang menatap di tebing Tanjung Ringgit. Sedang hanyut dan tenggelam dalam rasa.

Pada saat puncak kebahagiaan itulah aku merasakan titik-titik bening menetes dari sudut mataku. Karena benak terdalam pada sudut jiwaku bertanya: “Kenapa jalan terjal itu pernah hadir menjadi bagian dalam hidupku? Meski hanya sekejap, tapi ia melelahkan. Meski telah menjadi masa lalu, tapi ia masih memaksa aku untuk membendung benci”. Adhe melihat apa yang terjadi ketika aku meneteskan air mata. Dan saat itulah ia mengagetkan aku dengan pertanyaan yang menyambar bagai petir. Menolong aku untuk keluar dari pertikaian bathin. Ketika aku merenung. Duduk bersandar saat remang senja, di tanah coklat tua Tebing Tanjung Ringgit.

Tapi saat ini kami sedang berhadapan, saling mentertawakan. Adhe mentertawakan aku hanya untuk menghibur. Ia tak ingin aku tenggelam, larut lebih jauh dan lebih lama lagi dalam kesedihan. Aku bangga karena masih mampu ikut tertawa, meski tak ada obyek lucu yang bisa kutertawakan. Tiba-tiba Adhe berbisik pada telinga kananku: “Renungkan baik-baik. Tebing ini adalah tiga tempat. Kamu akan menginjakkan kedua kakimu paling sedikit pada satu tempat yang terpenting dari tiga tempt itu”. Aku merasa aneh. Bisikannya malah mengacaukan jalan pikiranku. Bagaimana mungkin sebuah tebing berubah menjadi tiga tempat? Nalarku bergerak menggerayangi otakku. Tapi aku tidak menemukan maksudnya. Mungkin ia sedang melucu sekedar untuk menghiburku. Atau sengaja membuat nalarku melompat-lompat agar aku melupakan jalan terjal yang telah kulalui.

Aku akan jelaskan seperti yang pernah kujanjikan. Karena kamu ingin belajar tentang Tanjung Ringgit. Dan kamu akan berbagi dengan semua orang melalui tulisanmu”, ucap Adhe dengan santun dan tampak serius. Aku berusaha memperhatikan ucapannya. Agar ia tak kecewa. Tapi sebenarnya perhatianku lebih besar pada hal-hal lain yang aku kagumi pada gadis ini. Pengetahuannya begitu luas. Sikapnya begitu santun dan tenang. Ia perempuan yang sabar dan lembut. Banyak lagi hal-hal indah lainnya yang aku tidak mau ceritakan pada orang lain. Buatku, tentu lebih baik kalau mereka tidak mengetahui. Itu salah mereka. Tidak peka. Tidak punya pengetahuan yang cukup tentang seoang perempuan karunia dalam hidup ini.

Adhe menjelaskan untuk memulai ceritanya: “Tebing Tanjung Ringgit menjadi tiga tempat yang penuh energi. Tempat menjemput inspirasi bagi siapapun. Tempat inspirasi menyambut hadirnya titik impianmu bersamaku. Dan tempat bersejarah bagi mereka yang peduli terhadap masa lalu bangsa ini”. Ia tiba-tiba berdiri begitu kalimatnya selesai. Lalu melangkah pelan menuju sisi tebing. Aku segera berdiri mengikuti di balakangnya. Aku khawatir kalau terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan. Aku terus mengikutinya. Melangkah merayap pada sisi tebing. Bergerak ke arah bawah mendekati air. Ia mencari tempat yang memungkinkan untuk duduk dan bersandar pada sisi tebing yang terjal itu. Akhirnya kami duduk berdampingan pada sisi tebing yang memiliki tempat datar yang agak lebar. Hanya berjarak satu meter dari permukaan air laut. Tapi tidak ada ombak yang menghempas. Anginpun bertiup lembut. Membuat suasana nyaman untuk mendengarkan cerita dan ngobrol.
Sumber Foto:  http://flickr.com

Tempat menjemput inspirasi bagi siapapun”, kata Adhe mengawali ceritnya tentang tebing ini sebagai tempat yang pertama. Aku menatap seluruh bagian tebing sambil mendengarkan ceritanya. Aku menoleh dan memperhatikan secara detail setiap bagian yang ditunjuk dan disebutkannya. Setiap lekukan, tonjolan, kemiringan, jenis batu cadas, karang, warna, struktur dan tekstur tanah dijelaskan secara sempurna. Ini lebih padat dari materi kuliah ilmu geologi dan mineralogi masing-masing satu smester. Sampai sempat terlintas pertanyaan dalam pikiranku: “Apakah keindahan tempat ini muncul karena perhatianku begitu detail mangikuti rincian ceritanya? Karena aku bersamanya? Ataukah tempat ini memang tempat yang benar-benar indah seperti yang aku lihat dan aku rasakan saat ini?” Tentu tidak ada jawaban karena aku bertanya pada diriku sendiri. Bertanya pada jiwaku yang belum mengerti darimana sebuah keindahan berasal. Belum paham dari mana rasa cinta terhadap alam ini mengalir dan tumbuh begitu cepat.

Cahaya kuning matahari sore itu menyentuh tebing coklat. Membentuk warna coklat cerah yang berpendar pada tebing. Sinar ini kemudian mematul menyentuh air pada sebaris titik untuk membentuk sudut lancip dengan permukaan tebing. Air samudera pada seluruh ruas sudut lancip itu kokoh bertahan dengan warna aslinya. Warna biru samudera. Biru Kental. Lebih tua dari warna yang disebut Biru Tua. Makin mendekati tebing, warna biru itu makin kental. Karena cahaya pantul dari tebing tak mampu menyentuh permukaan air pada ruas sudut itu. Ruang pada ruas sudut lancip itu menjadi tempat berlindung bagi air agar tak diterpa cahaya sore. Untuk memberi isyarat pada setiap pasang mata, tentang keaslian warnanya.

Sementara air yang berada di luar sudut lancip itu berwarna ganda tak sempurna, antara Pink dan Ungu. Perpaduan warna ciptaan alam ketika cahaya melukis air. Untuk menyentuh mata dan mengusik jiwa agar mampu membangun rasa indah. Warna lukisan ini dibangun oleh garis-garis cahaya pantul dari tebing. Membentuk sudut tumpul pada sederet titik ketika menerpa permukaan air. Sebagian cahaya tersebut menekuk membentuk sudut bias ke arah dasar laut dan sisa-sisanya dipantulkan ke atmosfer langit, berpadu kembali dengan warna kuning cahaya asalnya yang datang dari sinar matahari sore itu.

Lihat warna air itu seperti memindahkan langit ke dasar laut. Meskipun mirip, tapi warna air itu lebih kuat dari warna langit di atasnya. Adakah otak manusia yang paling tumpul? Sehingga tidak mampu menyentuh setiap denyut inspirasi di tempat ini?”. Ia tersenyum menatapku. Mungkin karena sudah memastikan aku takkan bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi aku berusaha tidak tersinggung. Meskipun kalimatnya mungkin menyindir ketumpulan otakku tak mampu menalar ceritanya secara tepat. Tanpa menunggu jawabanku, ia berdiri dan memegang tanganku. Lalu kami merayap menyusuri tebing, berpindah ke balik tebing yang lain. Udara mulai dingin, karena angin sejuk berhembus tidak lagi bersama cahaya terang. Matahari terhalang oleh balik tebing yang lain, yang sekarang sedang kami tuju.
Sumber Foto:  http://forum.kompas.com

Lihat, posisi lempeng tebing ini masih mampu menangkap cahaya senja. Sementara tadi di balik sana mulai remang menuju gelap. Karena permukaan tebing ini tepat menghadap ke arah matahari tenggelam. Ujung tebing itu, sering menjadi tempat merenung untuk menghabiskan sisa-sisa cahaya senja. Tentu bagi para pencari inspirasi”. Adhe menjelaskan sambil menunjuk ujung tebing pada sudut tanjung yang paling jauh menjorok ke laut. Di depan ujung tanjung itu tampak bongkahan cadas yang masih tersisa. Entah kapan hempasan abrasi akan menghancurkannya. Berguguran menjadi puing-puing cadas dan butir-butir pasir yang dibawa ombak ke tepi pantai.

Bentuk pantai yang meliuk, menciptakan bangun setengah lingkaran di beberapa tempat. Menyebabkan air laut menggenang tenang tanpa riak pada sore hari, ketika laut mulai surut meninggalkan pasang. Mirip sebuah kolam raksasa pada taman yang sengaja dibangun dan dipelihara. Saat berdiri menemani Adhe di salah satu sisi pantai ini, sungguh terasa betapa bersahajanya alam. Mengalirkan perasaan menyatu bersama setiap sisi yang lain. Menyatu bersama setiap pernak-pernik alam yang ikut membangun bentuk dan warna. Seperti pernah ikut merencanakan setiap gores keindahannya. Sisa-sisa pepohonan pantai peninggalan Hutan Sekaroh yang pernah rimbun, kini masih tampak pada batas leher tanjung dan kaki-kaki bukit di sekitarnya.
Sumber Foto:  http://lombok.panduanwisata.com

Di sisi sebelah barat, terdapat bagian pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Bentuk-bentuk tebing tanjungnya lebih bervariasi. Tidak sekadar berupa tebing dengan permukaan datar. Tapi terdiri dari berbagai bentuk gundukan batu cadas berwarna coklat. Variasi ini telah dilukis oleh alam menggunakan pahat angin, palu ombak, dan mengikuti rancangan abrasi yang begitu sempurna. Warna coklat seluruh batu cadas juga berpadu sempurna dengan warna biru langit dan air laut yang penuh gelombang samudera. Bukan hanya sebatas inspirasi yang dapat dijemput dari karya alam semesta ini. Tetapi juga cinta dan keyakinan tentang Keagungan Penciptanya. Tentang ketelitian tangan-tangan penuh energi yang ditebar melalui setiap bagian alam di jagad raya ini.
Sumber Foto:  http://lomboktimurpemkab.go.id

Sekarang kita beralih ke tempat berikutnya. Tempat inspirasi menyambut hadirnya titik impianmu bersamaku”, kata Adhe setengah berbisik. Tapi aku melihat sesuatu yang berbeda. Wajah, sikap dan kalimat yang diucapkan menggambarkan Adhe tidak lagi setegar ketika menjelaskan cerita sebelumnya. Ada kesedihan yang sangat nampak pada gurat wajahnya. Ia menggigit bibirnya untuk membendung emosi. Lalu aku segera menguatkannya: “Kita tak perlu khawatir tentang setiap titik impian kita. Semuanya akan kita capai dengan cara yang terbaik pada saat yang paling tepat. Tapi kali ini aku ingin belajar darimu tentang Tanjung Ringgit. Jelaskanlah apa adanya menurut persepsimu. Dan aku akan berbagi dengan orang lain melalui tulisan”, ucapku untuk membujuknya agar lebih tenang.
Sumber Foto:  http://forum.kompas.com

Tadi pagi sampai siang, kita telah mengunjungi beberapa tempat di sekitar Tanjung Ringgit ini. Ingatkah kamu seperti apa nuansa tempat-tempat itu? Ingatkah kamu tentang apa saja yang sudah kita bicarakan? Kembalikan ingatanmu, dan aku akan menjelaskan tempat inspirasi menyambut hadirnya titik impianmu”, tegasnya. Astaga!!! Permintaanya langsung membuat aku tersentak, karena aku baru mengerti. Kesedihannya tadi ternyata karena membendung kecewa. Mungkin ketika kami berbincang di pantai-pantai itu tadi pagi sampai siang, sebelum senja di tebing coklat itu, Adhe telah menjelaskan banyak hal yang aku tidak bisa menangkap maksudnya. Tentang aku. Tentang dirinya. Tentang titik impian kami. Tentang rencana. Dan mungkin masih banyak lagi.
Sumber Foto:  http://flickr.com

Aku tidak akan mengulangi semua yang sudah kita bicarakan. Karena hari sudah sore. Tapi aku akan mengingatkan beberapa hal tentang tempat itu.....dan tentang titik impian yang kehadirannya akan kita sambut”, jelas Adhe nampak serius dan optimis. Mendengar penjelasan Adhe, tiba-tiba aku mulai mengingat apa yang kami bicarakan selama setengah hari tadi pagi sampai siang. Setiap kata yang pernah diucapkan bermunculan satu per satu dalam ingatanku. Aku juga ingat raut wajah itu sempat memerah menabur seberkas senyum, ketika tangan kanannya menepuk bahuku untuk meyakinkan. Bahwa segalanya akan dapat dicapai, dan impian di depan mata harus disambut bersama. Saat itu aku sempat menyampaikan terima kasih, karena motivasi yang diberikan dapat membesarkan harapanku. Dapat meyakinkanku untuk melupakan seluruh jalan terjal yang pernah kulalui.

Nuansa pantai, tebing, ombak dan desir angin di tempat-tempat kami ngobrol juga mulai muncul. Satu per satu datang melintas di otakku, berurutan, dan sambung-menyambung seperti tali keyakinan yang begitu kokoh. Pantai-pantai yang nampak remang sore ini, tapi tadi siang nampak begitu cerah. Mataharipun menabur cahaya terang, sepenuhnya. Menembus atmosfer. Tanpa ada gumpal awan penghalang. Menerpa seluruh pantai, tebing, air samudera, pepohonan dan semak belukar.  Tebing datar itu begitu kokoh. Sementara tebing-tebing lainnya menyajikan berbagai bentuk lukisan indah pada permukaannya. Tapi juga tidak kalah perkasa dibanding tebing datar. Keduanya berdiri tegak di bawah payung langit biru cerah tanpa awan. Menancapkan kaki-kaki mereka pada dasar samudera. Airnya begitu tenang. Ombak kecil menghempas tebing hanya untuk meberi warna putih di atas warna biru air. Tapi tak mampu mengoyak ketenangan samudera.

Masih ada juga tebing indah yang penuh rumput hijau menutupi permukaannya. Tebing ini terletak bersebelahan dengan tebing lain yang penuh semak belukar. Tebing yang masih memiliki beberapa sisa pepohonan yang masih sanggup menahan panasnya kemarau Lombok Selatan. Kemarau panjang yang telah menyebabkan daerah ini sangat dikenal sebagai daerah kritis. Di ujung tebing ini terhampar pantai yang landai berpasir putih. Menjadi tempat bagi para nelayan kecil menambat sampan-sampan mereka. Sampan-sampan kayu, sederhana tanpa motor, tapi menyimpan harapan anak-anak mereka. Mengemas mimpi keluarga mereka.
Sumber Foto:  http://forum.kompas.com

Impianmu begitu kokoh seperti tebing-tebing itu. Sebuah impian besar, tapi teduh. Begitu meyakinkan, tanpa hambatan. Tenang seperti birunya air samudera yang tak tergoyah oleh ombak menghempas tebing. Ia begitu indah seperti seluruh nuansa pagi di pantai ini. Nuansa yang kemudian diselimuti seluruh energi matahari siang”. Adhe mengucapkan kalimat-kalimat itu untuk menyimpulkan penjelasannya. Pikiranku melayang. Aku tenggelam dalam perasaanku sendiri, seperti tak percaya dengan keadaan ini. Matahari sudah hampir menghilang meninggalkan kami. Aku seperti berpikir dalam sebuah mimpi. Terharu. Sedih. Setelah itu, seperti tanpa sadar aku mengatakan pada Adhe: “Terus, apa yang harus aku lakukan?”

Aku terdiam menunggu jawaban. Kekhawatiran mulai menggerayangi benakku. Pasti menyakitkan jika jawaban Adhe tidak seperti yang aku harapkan. Tapi gadis ini begitu tenang. Ia tersenyum, seperti tanpa beban sedikitpun. Kemudian ia menjabat tanganku seperti akan berpamit untuk meninggalkanku,... lalu mengatakan: “Sambutlah impianmu. Tambatkan kapal impianmu pada sebuah titik yang menyebabkan dirimu merasa bahagia karena sedang berpikir baik. Pada titik itu pula aku ingin barsamamu. Menyambut impianku”. Adhe melepaskan tanganku tepat ketika kalimatnya berakhir. Lalu ia melangkah, mengikuti jalan setapak yang berujung pada jalan aspal. Dan akupun melangkah dengan cepat mengikutinya. Aku takut kalau ia lari meninggalkan aku.

Aku memintanya berhenti sejenak. Untuk memberi kesempatan kepadaku menyampaikan sesuatu. Kami berhanti di persimpangan jalan setapak. Duduk di atas dua batu yang masig-masing terletak pada sudut-sudut persimpangan jalan. Letak batu ini seperti kebetulan, menyebabkan kami dapat berhadapan. “Terima kasih untuk semua ini. Kita akan bersama-sama menyambut impian kita, pada titik yang sudah kita sepakati”. Adhe mengangguk tersenyum, tanda setuju atas ucapanku. Aku menjadi lega. Tapi kemudian ia tertawa terpingkal-pingkal seperti mengolok sikapku yang ketakutan. Sikap seorang laki-laki yang sedang takut kehilangan. Akhirnya Adhe menjelaskan. Ternyata tadi, ia sengaja meninggalkan aku dengan melangkah cepat. Seolah-olah akan pergi tanpa aku. Tapi hal itu ia lakukan, karena sudah memastikan kalimat-kalimat jawabanku. Sudah memastikan bahwa kami memiliki impian yang sama. Ia juga sudah yakin, bahwa kalimat-kalimatnya, membuka jalan bagi kami untuk membuat kesimpulan dan mengambil keputusan.

Okay. Semua tentang kita sudah jelas. Kesimpulan sudah kita sepakati tentang sebuah titik yang akan kita sambut bersama. Sekarang aku akan menjelaskanmu tentang Tanjung Ringgit sebagai tempat ketiga. Yaitu tempat bersejarah bagi mereka yang peduli terhadap masa lalu bangsa ini”. Mungkin ia sengaja mengalihkan pembicaraan. Agar aku segera bebas dari perasaan risih. Agar aku tidak larut dalam menyimpan rasa malu karena tadi telah ketahuan takut kehilangan. Takut ditinggal pergi. “Lihatlah dalam benakmu gua-gua yang kita datangi tadi siang”, ucapnya melanjutkan pembicaraan.

Kami melanjutkan perjalanan untuk menemukan jalan aspal, sambil berbincang tentang topik yang baru. Hari sudah mulai gelap. Tapi cahaya bulan cukup menolong untuk dapat membedakan warna tanah jalan setapak dengan warna rumput dan semak belukar di sisi kanan dan kiri jalan. Kami melangkah pelan sebatas yang mampu kami lakukan. Adhe terus bercerita tentang gua-gua itu. Aku memegang tangannya untuk melindungi. “Gua-gua itu dibangun sebelum bala tentara Jepang datang ke daerah ini”, kata Adhe memulai ceritanya. Aku berusaha mendengarkan. Tapi tidak dapat memperhatikan dengan penuh konsentrasi. Karena harus memperhatikan liku-liku jalan setapak yang kadang menanjak atau menurun. Di beberapa tempat kadang jalan tak terlihat jelas karena cahaya bulan terhalang oleh pohon.

Cerita Adhe secara keseluruhan sama dengan cerita orang-orang tua di kampung-kampung di Desa Jerowaru. Tapi orang-orang tua di kampung tidak mampu menguraikan ceritanya secara detail. Sering memberi kesan tidak masuk akal, sehingga anak-anak muda banyak yang tidak percaya. Menganggap mereka mengada-ada. Tapi sebenarnya isi cerita mereka mengandung informasi mengenai hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang persis seperti yang diuraikan oleh Adhe.
Sumber Foto:  http://lomboktimurpemkab.go.id

Gua-gua di Tanjung Ringgit, konon dibangun oleh masyarakat yang tinggal di dalam wilayah Desa Jerowaru yang pada itu merupakan bagian dari Kedistrikan Sakra. Wilayah Desa Jerowaru saat itu sangat luas, mencakup wilayah dua kecamatan untuk saat ini. Yaitu kecamatan Jerowaru dan kecamatan Keruak. Masyarakat setempat membangun gua-gua itu pada awal tahun 1942 dengan petunjuk dari Tenaga Teknis yang dikirim oleh Pemerintah Jepang, sebelum tentara Jepang datang. Di dalam gua terdapat beberapa cabang. Ada yang tembus dari satu tebing ke tebing yang lain. Ada yang mengarah ke bawah bukit-bukit Hutan Sekaroh, terutama bukit yang tidak terlalu jauh dari pantai.

Konon gua-gua seperti ini tidak hanya dibangun di kawasan Tanjung Ringgit. Tapi terdapat juga di sejumlah tempat, terutama lokasi yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, yang disebut pantai selatan. Gua semacam ini dibangun juga oleh masyarakat di pulau-pulau lain. Misalnya kearah timur di Pulau Sumbawa, Flores, Timor, dan sebagainya. Bahkan gua semacam ini seperti melingkar menyusuri pantai selatan sampai Pulau Papua. Ujungnya bertemu dengan ujung gua-gua yang melintang mengikuti arah utara-selatan di Samudera Pasifik, dan berakhir di pantai-pantai di kepulauan yang menjadi wilayah negara Jepang pada saat itu.
Sumber Foto:  http://lomboktimurpemkab.go.id

Tentara Jepang datang setelah gua-gua itu selesai dibangun. Mereka tiba secara bertahap sekitar pertengahan tahun 1942 sampai awal 1943. Gua dibangun sebagai tempat perlindungan para tentara tersebut dan tenaga sipil yang menyertai mereka. Gua merupakan bagian dari strategi perang bagi Jepang untuk melawan Sekutu Amerika dalam perang Dunia II. Khususnya di Tanjung Ringgit, sistem pertahanan dilakukan dengan memadukan peranan gua-gua tersebut dengan peranan Hutan Sekaroh yang saat itu masih sangat lebat dan memiliki sejumlah bukit yang cukup besar sebagai tanggul pengaman. Gua dan hutan ini menjadi sistem utama untuk pertahanan dan perlindungan menghadapi serangan musuh yang datang melalui Samudera Hindia. Oleh karena itu, pantai-pantai di pinggir Hutan Sekaroh dijadikan lokasi markas bagi Tentara Jepang, yang kemudian disebut Tangsi. Sampai sekarang, pantai-pantai di lokasi ini disebut Pantai Tangsi. Terdiri dari pantai Tanjung Bloam, Pantai Pink, dan Tanjung Ringgit.

Di tempat-tempat yang dipandag strategis menurut teknik perang yag mereka terapkan, dipasang senjata-senjata perang. Baik berupa sejata penyerang, maupun penangkal serangan. Penempatannya kadang di sekitar pantai, kadang agak ke dalam di lereng bukit terluar yang berhadapan langsung dengan samudera. Orang-orang tua di Desa Jerowaru, mengetahui lokasi-lokasi penempatan senjata ini sekitar tahun 1946, setelah tentara Jepang tidak ada lagi di Lombok. Sedangkan ketika para tentara itu masih ada sekitar tahun 1942 – 1945, masyarakat umum tidak boleh dan tidak berani datang ke lokasi Tangsi. Kecuali mereka yang memang ditugaskan untuk suatu pekerjaan di lokasi tersebut karena tenaganya dibutuhkan atau karena mereka dihukum.
Sumber Foto:  http://nusatenggaraindonesia.com

Aku makin sibuk membimbing Adhe untuk segera dapat melewati jalan setapak pada gelap malam itu. Gumpal awan di atas kepala menghalangi cahaya bulan. Kaki kadang tersandung batu-batu kecil di sisi jalan. Tapi Adhe terus mengalirkan ceritanya. Membuat aku tidak merasa di tempat sepi. Meski tak ada suara burung. Tak ada kerlap lampu untuk menandakan lokasi pemukiman di kawasan ini. Hanya suara angin yang mendesir lembut. Sesekali diikuti sayup-sayup suara ombak. Tapi aku sungguh bahagia hari ini. Banyak pelajaran yang aku dapatkan. Untuk kubagikan pada orang lain yang ingin mengerti tentang Lombok. Akan kutulis malam ini juga setelah tiba di rumah. Jalan aspal akan kami temukan bebeapa menit lagi. Tangan Adhe masih kupegang erat. Tapi pikiranku menjalar ke mana-mana tentang pelajaran sangat berharga hari ini. Tentang pantai indah yang menjadi sumber inspirasi itu, tentang impian kami, dan tentang Jepang itu.

Kenapa kamu tertawa?”, tanya gadis itu heran karena aku tiba-tiba tertawa dalam kegelapan di jalan setapak. Mungkin ia mengira aku mengoloknya. Atau ia menduga aku balas dendam karena tadi ia pernah mentertawakan aku ketika tampak takut kehilangan dirinya. Tapi aku mentertawakan si Jepang itu. Tentara dan Pemerintah Jepang itu. Di tempat ini mereka telah gagal menyambut mimpi-mimpi mereka untuk menguasai negeri ini. Tentu karena mimpi-mimpi mereka tidak sekokoh tebing-tebing itu. Tidak sekuat tenangnya air biru samudera di depan tebing itu. Tidak memiliki energi sebesar cerahnya sinar mentari siang pada hari ini.

Pasti juga karena mimpi-mimpi Amerika bersama sekutunya jauh lebih kokoh. Untuk menguasai dunia dengan politik ekonominya. Melalui pengembangan teknologi yang diperlukan manusia. Melalui pengembangan dan produksi senjata. Sebagai komoditas yang diperjual-belikan. Baik untuk transaksi jual-beli di pasar ekonomi maupun transaksi di pasar politik dunia. Termasuk dua butir pil pahit yang telah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki untuk menghempaskan Jepang pada Agustus 1945 itu. Menyebabkan Jepang harus angkat kaki dari Tanjung Ringgit, dan dari seluruh Indonesia. Bahkan dari seluruh negara-negar yang sedang didudukinya pada saat itu. “Tapi tidak hanya mimpi-mimpi mereka. Mimpi-mimpi kita juga begitu kokoh, bahkan mungkin lebih dari mimpi mereka. Begitu pasti, begitu kuat, dan penuh energi. Sebuah mimpi yang pantas untuk diperjuangkan. Patut untuk segera dijemput kehadirannya. Untuk menapak bersama, pada sebuah titik. Tempat dimana cinta dapat tumbuh tanpa upaya”. Adhe mengakhiri ceritanya, ketika kendaraan kami bergerak di jalan aspal menuju pulang.




Daftar Sumber Foto