Sumber Foto: www.yampu.com |
“Apakah
ini rentang waktu yang terlalu singkat?” Tidak lebih dari 30 menit dalam
setahun. Hanya 30 menit dalam 365 hari. Dan harus tepat hanya pada hari itu.
Pada tanggal dan hari Purnama Bulan ketujuh dalam Kalender Sasak. Pada
menit-menit dan detik-detik itu, matahari sore menukik di balik lereng Gunung
Rinjani, sembari memancarkan sisa-sisa cahaya. Membentuk warna merah tembaga membungkus
Bumi Lombok.
Cahaya
matahari saat itu, diiringi bunga-bunga waru yang jatuh berguguran. Berputar-putar pada porosnya
sebelum menerpa tanah bumi. Menciptakan kesadaran dan rasa takjub pada
keagungan dan kekuasaan Sang Maha Pencipta. Menuntun kearifan masyarakat Bumi
Lombok. Untuk memuji dan memuja Sang Maha Tunggal. Sang Suro Ing Jagad.
Detik-detik dalam 30 menit itu dipandang sebagai
detik-detik Sakral. Dalam filsafat alam Masyarakat Lombok disebut sebagai waktu
“Rarak Kembang Waru”, yaitu saat gugurnya bunga waru. Pada
detik-detik itu, masyarakat Lombok melakukan ritual persembahan yang disebut
Pujawali.
Sumber Foto: www.kyaimbeling.wordpress.com |
Bunga waru
nampak begitu segar dan bahagia ketika kuncup di pagi hari. Ia mekar menyambut
mentari siang dengan menebar aroma yang dimilikinya. Lalu menjadi merah ketika
matahari mulai condong menuju sore. Dan akhirnya jatuh berguguran ketika
menjelang senja, mengiringi matahari tenggelam. Bunga-bunga yang belum jatuh
sampai tenggelam matahari, diam tak bergeming. Menahan diri. Menunggu tibanya detik-detik
yang persis sama pada hari esok.
Masyarakat
Lombok yang sebagian besar terdiri dari Suku Sasak beragama Islam dan Suku Bali
beragama Hindu, memiliki penalaran dan keyakinan yang sama. Bahwa
bunga waru gugur pada senja hari bukan sesuatu yang kebetulan. Tetapi
karena ia tunduk pada hukum dalam Sistem Alam Semesta. Sebagai caranya
memberikan persembahan pada Tuhan. Sang Maha Pemberi. Sang Maha Penyantun.
Karena telah memberinya kebahagiaan hidup sebagai tumbuhan. Bertengger tanpa
beban mengambil sari-sari makanan dan air. Dari tanah bumi yang tak pernah
meminta imbalan. Dari langit jagad raya yang tak pernah mengharap sumbangsih.
Gumpal kesadaran ini telah lama mengkristal begitu keras. Kokoh tak tergoyah. Secara turun-temurun telah tertanam begitu dalam pada dasar jiwa Masyarakat Lombok. Kristal indah kesadaran ini yang menuntun kearifan mereka untuk melakukan persembahan sebagaimana dicontohkan oleh matahari dan bunga waru. Persembahan ini kemudian disebut Pujawali. Dengan memilih detik-detik Gugur Bunga Waru pada hari Purnama Bulan ketujuh kalender Sasak. Menjelang tenggelamnya matahari. Sekali dalam setahun.
Sumber Foto: www.lombok.panduanwisata.com |
Di daerah pantai
di Pulau Lombok. Pada rentang waktu detik-detik dalam 30 menit itu, matahari
sedang menebar cahaya merah mewarnai langit. Kemudian memantul menerpa air laut di seluruh pantai. Melintas membentuk
warna merah-kuning keemasan membungkus atmosfer bumi. Sementara sisa-sisa cahaya yang tak dipantulkan oleh air laut, tidak tinggal diam. Tapi melakukan
hal lain untuk kepentingan mahluk yang lain. Sisa cahaya ini menekuk tepat di
bawah permukaan air laut. Membentuk sudut bias. Sinar yang membias ini seketika
mengubah warna air laut. Menyentuh mahluk biota laut. Lalu menebar keindahan
dan memberi kemakmuran hidup bagi mereka di dalam laut. Begitu rapi, detail, dan
indahnya alam semesta menabur karunia Tuhan.
Persis pada saat yang sama, sisi lain dari alam semesta bekerja penuh cinta dengan cara yang lain. Karena sebagaimana matahari, mereka juga tunduk pada sederet hukum alam dalam sebuah Sistem yang sama. Sebuah sistem yang disebut Sunnatullah. Segalanya berjalan dalam sebuah Sistem dengan begitu santun, dalam bungkus kearifan Sang Maha Lembut.
Persis pada saat yang sama, sisi lain dari alam semesta bekerja penuh cinta dengan cara yang lain. Karena sebagaimana matahari, mereka juga tunduk pada sederet hukum alam dalam sebuah Sistem yang sama. Sebuah sistem yang disebut Sunnatullah. Segalanya berjalan dalam sebuah Sistem dengan begitu santun, dalam bungkus kearifan Sang Maha Lembut.
Sumber Foto: www.nimadesriandani.wordpress.com |
Sumber Foto:www.id.wikipedia.org
|
Sumber Foto: www.my.opera.com |
Jadi, nama ritual Pujawali meletakkan kalimat “Rarak Kembang Waru” adalah menyimbolkan sebuah momentum kolaborasi pengabdian Matahari dan Bunga Waru. Sebagai perwakilan seluruh tokoh alam semesta. Nama ini digunakan oleh masyarakat Lombok sebagai nama persembahannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan budaya sekali setahun.
Sumber Foto: www.rifqiamriputri.blogspot.com |
Pujawali,
pada hakekatnya adalah serangkaian ritual untuk bersyukur dan berdoa secara
langsung kepada Tuhan. Karena Dialah pemilik Sistem Alam Semesta. Pemberian-NYA
tak ternilai dan tak akan pernah mampu dibalas secara imbang oleh manusia.
Silaturrahim Peserta ini dilakukan dalam bentuk Perang Topat (bahasa sasak: topat = ketupat). Oleh karena itu, upacara Pujawali ini lebih dikenal dengan sebutan Perang Topat. Inilah yang dilakukan dalam 30 menit waktu sakral.
Secara
teknis, bersyukur dan berdoa ini dilakukan dengan serangkaian kegiatan Persembahan,
Perenungan, Doa dan Silaturrahim Peserta. Namun rentang waktu yang
dipandang sebagai menit-menit dan detik-detik sakral tidak lebih dari 30 menit.
Maka dalam waktu sesingkat itu yang dapat dilakukan hanya kegiatan terakhir,
yaitu Silaturrahim Peserta. Tujuannya agar dapat selesai tepat pada detik-detik
terbenamnya matahari. Sedangkan kegiatan persembahan, perenugan dan doa,
dilakukan lebih dulu. Harus selesai sebelum saat yang dipandang sakral tiba.
Silaturrahim Peserta ini dilakukan dalam bentuk Perang Topat (bahasa sasak: topat = ketupat). Oleh karena itu, upacara Pujawali ini lebih dikenal dengan sebutan Perang Topat. Inilah yang dilakukan dalam 30 menit waktu sakral.
Sumber Foto: www.berbagifun.blogspot.com |
“Perang
Topat” bukan untuk saling membunuh. Tidak untuk saling
menyakiti. Ini sebuah perang indah setelah melakukan serangkaian persembahan
kepada Tuhan. Perang untuk saling menyapa, mengenal, menyambut, bersatu, kompak
dan saling mendukung. Perang topat pada hakekatnya merupakan ajang terbuka bagi
Manusia Bumi. Untuk secara bersama-sama menyambut dan mensyukuri
setiap keselamatan yang telah diterima dan akan terus diberikan oleh Tuhan.
Ditekankan pada kata bersama-sama, karena mengandung
pengertian: “agar Seluruh Manusia Bumi berbahagia dan bersyukur atas pemberian
Tuhan”.
Sumber Foto: www.berbagifun.blogspot.com |
Seluruh
rangkaian kegiatan dilakukan di Pura Lingsar. Pura Hindu terbesar di
Pulau Lombok. Dari tahun ke tahun pemerakarsa dan fasilitator kegiatan ini
adalah masyarakat suku Sasak dan Bali-Lombok. Mereka sekaligus sebagai tuan rumah.
Namun demikian, pesertanya ditujukan bagi siapapun. Dari manapun asal-usulnya
tanpa perlu diundang. Setiap orang yang berminat berhak untuk berpartisipasi.
Tidak ada pencirian dan pembedaan. Tidak pernah dipedulikan tentang asal-usul
kelompok, suku, agama, paham, pandangan politik, warna kulit, rambut dan
sebagainya. Karena hakekat ritual ini adalah Silaturrahim bagi
manusia bumi. Fakta dalam sepuluh tahun terakhir kita sering melihat wisatawan
mancanegara yang kebetulan sedang di Pulau Lombok ikut berpartisipasi dalam
seluruh prosesi perang topat.
Sumber Foto: www.balegili.com |
Panitia dan
berbagai pihak dari masyarakat suku Sasak dan Bali-Lombok mempersiapkan
keperluan persembahan. Terdiri dari ketupat, berbagai jenis makanan,
buah-buahan, hasil bumi dan kebun odek. Persembahan diarak dari desa-desa terdekat
menuju lokasi pada siang hari pelaksanaan. Mereka membentuk kelompok-kelompok
khusus yang berpakaian adat. Kadang para muda-mudi juga membentuk kelompok
berpakaian adat untuk memeriahkan acara. Bagi para peserta sesungguhnya tidak ada ketentuan
untuk membawa persembahan maupun dalam hal berpakaian.
Sumber Foto: www.suarantb.com
|
Sebelum
ritual utama dilakukan, panitia mengatur para peserta yang datang. Mereka
berbaris teratur, berkeliling bersama. Keadaan di lingkungan Pura menjadi begitu nyaman, tertib dan indah. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Ribuan peserta dengan berbagai latarbelakang berbeda, berbaris dan bergerak
keliling dengan hidmat. Kostum mereka berwarna-warni. Sejumlah kelompok menggunakan seragam
yang dirancang sendiri menurut seleran para anggota setiap kelompok. Meskipun
demikian, banyak juga kelompok lain yang anggotanya berpakaian bebas, seperti
halnya peserta yang datang tanpa kelompok.
Sumber Foto: www.indonesia-lombok.de |
Pemandangan
ini membuat rasa haru. Menjadi pelajaran dan pendidikan luar biasa berharga: “bahwa
mancawarna-warni itu indah untuk bersatu, indah dalam kebersamaan”.
Keadaan ini menunjukkan, ritual Pujawali dan Perang Topat sungguh bukan hanya milik masyarakat suku Sasak dan
Bali-Lombok. Mereka hanya kebetulan sebagai pemerakarsa dan fasilitator
pelaksanaan. Karena kebetulan dilakukan di Pulau Lombok. Ritual ini sugguh
telah menjadi milik dunia, milik Manusia Bumi. Bagaimanapun, meski peserta lain masih dalam jumlah
yang tidak sebanding dengan kedua suku pemerakarsa itu, namun peserta ritual
ini terdiri dari berbagai suku, agama, asal kelahiran dan tempat tinggal.
Bahkan diikuti juga oleh pendatang dari luar Pulau Lombok. Termasuk para tamu
bangsa yang datang dari luar negeri sebagai wisatawan. Jelas terlihat dan menjadi pelajaran berharga dalam
ritual ini, "bahwa pluralisme adalah kekayaan yang sangat berharga". Pluralisme benar-benar menjadi sesuatu yang indah, penuh
energi dan menabur cinta.
Sumber Foto: www.life.viva.co.id |
Arak-arakan
bergerak sangat pelan. Setiap pasang kaki melangkah teratur. Nampak tidak ada
ketegangan di wajah setiap peserta. Meskipun nama ritual ini lebih dikenal dengan
kata “perang”, yaitu Perang Topat.
Sumber Foto: www.liburanmurahlombok.com
|
Tempat akhir yang dituju
perjalanan arak-arakan adalah Pura Kemalik. Di pura ini seluruh persembahan
diletakkan, termasuk kebon odek. Di Pura
Kemalik peserta menunggu tibanya saat perang dimulai. Pihak panitia menjelaskan
aturan (bahasa sasak disebut awik-awik) yang harus ditaati bersama. Terutama tentang waktu
mulai dan waktu harus berakhirnya perang. Karena waktu adalah hal yang
dipandang sakral.
Di halaman yang begitu luas diatur tempat peserta. Arah lemparan agar berhadapan Utara – Selatan, serta diperlukan jarak secukupnya. Sementara menunggu saat perang tiba, masih tersedia waktu yang cukup untuk melakukan perenungan dan do’a menurut keyakinan dan cara masing-masing.
Di halaman yang begitu luas diatur tempat peserta. Arah lemparan agar berhadapan Utara – Selatan, serta diperlukan jarak secukupnya. Sementara menunggu saat perang tiba, masih tersedia waktu yang cukup untuk melakukan perenungan dan do’a menurut keyakinan dan cara masing-masing.
Situasi menjadi hening ketika menunggu tibanya waktu, menit-menit dan detik-detik perang. Peserta bukan tegang. Tapi hening karena perenungan dan do’a setiap peserta. Semakin dekat detik yang dinatikan, semakin hening dan terasa semakin nyaman dan damai. Saat itu, hari sudah sore. Cahaya matahari tidak lagi menyengat kulit, tapi masih menerpa wajah dengan lembut dan hangat. Tiba-tiba terdengar aba-aba perang dimulai.
Sumber Foto: www.lombokbaratkab.go.id |
Seketika
terdengar suara gemuruh peserta. Riuh membahana. Gemuruh yang tak sengaja
terangkai indah. Suara reflek yang berpadu. Hasil reaksi serentak ribuan
orang. Menyambut tibanya detik awal untuk bersyukur pada Tuhan yang mereka puji
atas segala kebaikan.Saat mulai saling menyapa.
Suara yang keluar dari setiap orang tak seragam. Karena bentuk kata dan bunyi memang tak ditentukan. Tanpa pernah diatur. Tapi terdengar begitu indah. Karena perbedaan bunyi itu berpadu pada detik yang tepat sama. Dari ribuan orang dengan frekwensi getar bunyi dan volume suara yang berbeda. Terasa begitu kuatnya peranan alam membangun komposisi indah dari perbedaan bunyi.
Sumber Foto: www.berbagifun.blogspot.com |
Begitu
luarbiasanya kemampuan alam menciptakan aransemen dengan seketika dalam ukuran
detik. Untuk memadukan ribuan bunyi yang berbeda menjadi sebuah ciptaan bunyi
baru yang begitu indah. Bunyi yang sangat kuat dan khas. Yang kemudian mampu menggugah
jiwa dan membangun rasa. Menciptakan semangat. Membentuk gairah. Mendatangkan energi untuk berani dan jujur saling menyapa. Untuk sebuah
silaturrahim melalui sebuah perang indah. Perang yang ramah. Perang untuk menjadi manusia yang terbuka, dan semakin terbuka.
Sungguh pluralisme dalam bunyi juga merupakan kekayaan. Dapat menjadi sumber kebahagiaan. Melalui rasa, semangat, gairah, energi, keberanian dan kejujuran dalam menjalani hidup.
Sungguh pluralisme dalam bunyi juga merupakan kekayaan. Dapat menjadi sumber kebahagiaan. Melalui rasa, semangat, gairah, energi, keberanian dan kejujuran dalam menjalani hidup.
Sumber Foto: www.bali.panduanwisata.com |
Mereka
mulai saling menyapa. Untuk saling mengenal dengan cara saling melempar
menggunakan ketupat, dari dan menuju arah Utara-Selatan. Saling menyapa untuk saling
mengenal, atau dalam kalangan muslim disebut Silaturrahim. Adalah
falsafah dari kata “perang” dalam Perang Topat. Bertujuan untuk membangun
kebersamaan, keharmonisan dan kekuatan yang menyatu. Dalam “menyambut,
menerima dan mensyukuri” segala kebaikan dan keselamatan yang telah
diterima dari Tuhan.
Sumber Foto: www.battyra.com
|
Sumber Foto: www.primbondonit.blogspot.com
|
Dalam sebuah
kelompok, sering terjadi para anggotanya berbuat iseng. Melempar temannya
sendiri dalam satu kelompok. Tapi tidak terjadi ketegangan apapun diantara
mereka. Sampai saat ini aku belum dapat memahami bentuk psikologi massa seperti
apa yang terjadi dalam interaksi sosial seperti itu?
Sumber Foto: www.thelombokguide.com
|
Aku pernah menyaksikan suara tawa yang paling besar, menggelegar sedikit aneh. Terjadi pada orang yang jidadnya tertimpa lemparan ketupat becek. Padahal hanya beberapa detik sebelumnya orang itu sedang bangga mentertawakan orang lain yang juga sedang tertawa, karena pipinya tertimpa lemparan ketupat becek pula. Aneh, tapi indah,... dan sungguh menggembirakan. Aku sungguh bahagia mentertawakan mereka. Tapi akhirnya aku baru menyadari, dan sedikit risih ketika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa mereka tertawa begitu keras, karena menganggap aku sangat lucu. Tanpa ku ketahui bekas ketupat becek bercampur tanah melekat di keningku. Mungkin ada orang memungut ketupat yang berserakan di tanah, lalu melemparkannya menimpa keningku.
Sumber Foto: www.badungtourism.com |
Mereka hampir tak merasakan waktu berjalan begitu cepat. Bergerak meninggalkan mereka. Menit-menit menghilang. Detik demi detik telah lenyap. Mereka hanya menikmati sebuah permainan terbuka. Saling mentertawakan, ngakak, terbahak-bahak. Mereka hanya melihat kekonyolan orang lain yang sedang tertawa bahagia. Sambil merasakan kekonyolan dirinya sendiri yang juga sedang tertawa bahagia. Setiap Manusia Bumi bebas saling mentertawakan, bahkan mentertawakan dirinya sendiri.
Permainan
dalam ritual ini telah menggiring mereka untuk sadar dan ikhlas. Menerima
keberadaan setiap diri sebagai manusia. Diri dari orang lain, maupun diri dari
dirinya sendiri. Ritual ini juga telah mengajari mereka agar secara sadar
menerima harkat kemanusiaannya. Sadar tentang mereka yang hidup sederajad
sebagai manusia. Hidup dalam ketergantungan dan saling memerlukan. Perlu untuk
bersatu. Dan kuncinya adalah saling menghormati, karena mencintai manusia dan kemanusian.
Sayangnya waktu terlalu cepat berlalu. Terdengar sebuah bunyi melengking dari sejenis alat yang ditiup oleh panitia. Pertanda perang harus berakhir. Tahun depan kita akan bertemu lagi.....
Sumber Foto: www.tripadvisor.com |
Kita,
"manusia adalah titik-titik kecil yang memiliki peran besar, dan sangat penting
dalam sebuah sistem Maha Besar". Sistem Alam Semesta. Kesadaran seperti ini mengalir
ke dalam jiwa setiap orang yang pernah mengikuti ritual Perang Topat. Mereka
memiliki keyakinan sangat kuat. Bahwa ritual ini sangat penting dilaksanakan
setiap tahun.
Mereka
masih enggan untuk berhenti, meskipun aba-aba akhir perang telah dikomandokan. Perasaan itu kemudian menjadi lega ketika mereka
bersalaman untuk berpisah. Ada yang berpelukan dan saling meminta maaf. Ada
juga yang kemudian mulai menjalin persahabatan. Beberapa pasang muda-mudi
bahkan memulai hubungan cinta sejak akhir perang itu.
Sumber
Foto: www.balidiscovery.com
|
Sumber Foto: www.trully.multiply.com |
Matahari
hanya menyisakan remang untuk mengiringi pikiran dan perasaan mereka. Perasaan yang
sedang mekar seperti bunga waru di siang hari. Cahaya merah di kaki langit
sedang beranjak menuju gelap. Matahari sudah tenggelam. Ia telah pergi ke
belahan yang lain dari bumi ini. Untuk menyantuni kebutuhan saudara kami di
tanah yang lain. Seperti akan ia lakukan untuk kami ketika kembali esok pagi.
Bunga waru berserakan di tiap sudut Pulau Lombok. Di pekarangan rumah, di
tepi jalan, di pantai, di hutan dan ladang.
Sumber Foto: www.lomboktrekkingclub.com
|
Daftar website atau blog yang dibaca
untuk tulisan ini:
http://www.badungtourism.com; http://www.bali.panduanwisata.com; http://www.balidiscovery.com; http://www.balegili.com; http://www.berbagifun.blogspot.com; http://www.battyra.com; http://www.ccrc.farmasi.ugm.ac.id; http://www.file.wordpress.com; http://www.id.wikipedia.org; http://www.indonesia-lombok.de; http://www.liburanmurahlombok.com; http://www.life.viva.co.id; http://www.kyaimbeling.wordpress.com; http://www.lombok.panduanwisata.com; http://www.lombokbaratkab.go.id; http://www.lomboktrekkingclub.com; http://www.museum.pusaka-nias.org; http://www.my.opera.com; http://www.nimadesriandani.wordpress.com; http://www.panoramio.com; http://www.primbondonit.blogspot.com; http://www.rifqiamriputri.blogspot.com; http:/www.suarantb.com; http:/www.thelombokguide.com; http://www.travelingtolombok.blogspot.com; http://www.tripadvisor.com; http://www.trully.multiply.com; http://www.yampu.com
Tulisan yang sangat menarik.
BalasHapusPertanyaannya, apakah sebuah proses mensyukuri nikmat Alloh itu perlu ditunjukkan dengan cara saling melempar makanan? Mengapa bukan melalui proses komtemplasi atau cara lainnya?
Terima kasih untuk pertanyaan yang sangat mendasar. Kebetulan untuk kasus ini, blogger menulis fakta yang terjadi. Fakta ini juga sudah membudaya dilakukan sekali setahun, entah sejak kapan, blogger tidak punya data sejarahnya.
HapusKarena kegiatan ini sudah menjadi budaya milik masyarakat luas, terutama di Lombok jadi blogger tidak berani mewakilkan diri atas nama masyarakat untuk menjawab pertanyaan ini. Apalagi tentang cara bersyukur yg secara teknis bisa berbeda menurut agama masing2. Sedangkan Pujawali menjadi kegiatan lintas agama.