Sumber: catatansikudaliar.blogspot.com |
“Aku,
. . . . . . BALOK”. Demikian ucap gadis itu sambil menabur secercah senyum
indah dari bibirnya. Saat itu pertama kali aku mengenalnya di sebuah tempat
suci bagi ummat Hindu. Pura Milu Kelepuk, bagian dari lingkungan bekas istana
Raja yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.
Kami
bersalaman. Tangannya begitu lembut. Sikapnya begitu santun. Segera kubuang
pikiran-pikiran kelelakianku yang mulai menjalar mengalir di otakku. Karena
saat itu, aku ingin memperoleh cerita, mendapatkan pengetahuan dari gadis itu.
Yaitu tentang lokasi bersejarah yang saat itu baru pertama kali kudatangi untuk
belajar tentang Lombok. Aku berusaha berkonsentrasi mendengarkan setiap
kalimatnya. Diucapkannya mengalir dalam bahasa sasak halus yang begitu kental,
bahasa bagi para ningrat Lombok.
Sumber: Adhe, personal document |
Cukup
hanya dengan merenung sejenak, aku langsung paham maksud gadis itu. Kata
“BALOK” adalah akronim dari dua kata: “Bali
dan Lombok”. Menjadi sebuah kata
hasil ciptaan anak-anak muda Lombok pada milenium ini. Dengan kata BALOK, gadis
itu sebenarnya sedang menjelaskan kepadaku bahwa dirinya adalah gadis Bali, suku
Bali, beragama Hindu, tapi asli orang Lombok. Artinya, ia lahir di Lombok, dibesarkan
di Lombok, bahkan nenek moyangnya pun juga lahir dan dibesarkan di Lombok.
Entah,...
sudah berapa keturunan leluhur mereka berada di Lombok. Secara turun-temurun
mereka menjadi bagian utama, menjadi sangat penting, dan tak dapat dilepaskan
dari tekstur maupun struktur masyarakat Lombok. Mereka datang dari Pulau Bali sekitar
tahun 1600-an pada saat migrasi masyarakat petani dari wilayah Kerajaan
Karangasem Bali. Berikutnya, keberhasilan ekspansi Kerajaan Karangasem
Bali pada tahun 1672 Masehi, kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kerajaan
Karangasem Lombok. Sejak saat itu pula mereka mulai menjadi penduduk
asli Lombok di bawah naungan Kerajaan Karangasem Lombok yang mulai berkuasa.
Sumber: Adhe, personal document |
Lebih
dari sekadar untuk menjelaskan asal-usul sejarah dan keturunan. Kata BALOK bagi
muda-mudi dan masyarakat Bali-Lombok saat ini, sudah dapat
menggambarkan Keluhuran dan Keteguhan Jiwa kebersamaan mereka. Bahwa di Pulau
Lombok ini mereka telah lama melebur menjadi satu bersama suku Sasak
(suku asli di Pulau Lombok) dan suku-suku lain yang menghuni Pulau Lombok. Mereka
tidak pernah membedakan apakah suku-suku lain itu datang sebelum atau sesudah
mereka. Tapi upaya telah mereka lakukan dalam rentang waktu begitu panjang. Tujuan
yang diinginkan juga telah lama dicapai, bahwa mereka melebur dengan memiliki
cinta, keberanian, kejujuran dan keikhlasan dalam praktek kehidupan sosial
masyarakat yang mengalir dengan nilai-nilai yang dihormati bersama.
Sumber: goexperience.gonla.com |
Masyarakat
suku Bali dan suku Sasak sejak zaman Kerajaan Karangasem Lombok sudah hidup
mesra berdampingan, saling menghormati, saling mendukung, dan saling mencintai.
Kemesraan ini dimulai dan tumbuh dengan subur ketika Pemerintahan Kerajaan
Karangasem Lombok menunjukkan kearifan
sikap dan tindakan pada masa awal pemerintahannya.
Kerajaan yang masyarakat dan pemerintahannya menganut Agama Hindu itu mengijinkan dan bahkan mendukung penyebaran Agama Islam yang sedang dilakukan oleh para Kyai dari Jawa, Makassar, Cina, dan para Gujarat dari tanah Arab. Para penyebar Agama Islam yang sedang berjuang saat itu sering datang untuk bertukar pikiran dengan parapihak di dalam lingkungan elite kerajaan. Mereka bersahabat dan saling membantu untuk keperluan masing-masing pihak.
Sumber: Adhe, personal document
|
Kerajaan yang masyarakat dan pemerintahannya menganut Agama Hindu itu mengijinkan dan bahkan mendukung penyebaran Agama Islam yang sedang dilakukan oleh para Kyai dari Jawa, Makassar, Cina, dan para Gujarat dari tanah Arab. Para penyebar Agama Islam yang sedang berjuang saat itu sering datang untuk bertukar pikiran dengan parapihak di dalam lingkungan elite kerajaan. Mereka bersahabat dan saling membantu untuk keperluan masing-masing pihak.
Sumber: flickr.com |
Sikap
santun kemanusiaan dan toleransi mesra ini mereka tunjukkan dalam sejarah untuk
mengajari masyarakat saat itu, dan secara turun-temurun untuk mendidik generasi
kita saat ini. Sebagai contoh, sejarah proses pembangunan salah satu istana peninggalan
Kerajaan Karangasem Lombok telah membuktikan tingginya nilai toleransi yang
luar biasa. Ketika membangun Istana Taman Air Mayura pada masa
pemerintahan Raja A.A. Ngurah pada tahun 1744 Masehi, beliau menunjukkan sikap
toleransi itu padaa semua pihak. Konon saat itu, lokasi pembangunan istana
masih berupa hutan belantara yang bernama Hutan Kelepuk, dihuni oleh sangat
banyak ular berbisa. Karena gangguan ular berbisa ini, sehingga proses pelaksanaan pembangunan
terhambat total.
Sumber: Adhe, personal document |
Sumber: Adhe, personal document |
Untuk
mengusir ular-ular berbisa itu, selain menggunakan cara-cara yang diyakini oleh
masyarakat beragama Hindu, pihak kerajaan juga meminta partisipasi dari para
tokoh kalangan Islam di Lombok, bahkan di Jawa dan di Makassar. Solusi paling tepat kemudian disumbangkan
oleh raja dari Kerajaan Islam Makassar. Pihak Kerajaan Islam ini mengirimkan
sejumlah Burung Merak untuk memakan, menakuti dan mengusir ular-ular
berbisa. Cara ini memberikan hasil luar biasa, yaitu pelaksanaan pembangunan
istana tidak terganggu lagi dan istana selesai dibangun sesuai rencana. Hal ini
membawa dampak sangat positif, kedua pihak (Hindu dan Islam) menjadi semakin
dekat dalam hubungan kemanusian, saling menghormati dan saling mendukung.
Sumber: Adhe, personal document |
Pihak
Kerajaan Karangasem Lombok dan masyarakatnya ingin megabadikan dan mengenang
keberhasilan mengusir ular-ular berbisa dan keberhasilan pembangunan istana
saat itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengukir peristiwa ini dalam sejarah
Lombok. Nama istana tersebut diambil dari nama Burung Merak yang merupakan
sumbangsih tak dapat dilupakan dari Kerajaan Islam. Nama Burug Merak dalam
bahasa Sanskerta adalah Mayora. Maka istana kerajaan ini diberi nama Istana
Mayora. Namun karena pengaruh lafal bunyi bahasa masyarakat Lombok yang
sebagian besar terdiri dari suku Sasak dan Bali, kemudian berubah dalam tulisan
menjadi Mayura, dan diucapkan dengan lafal Mayure.
Sumber: Adhe, personal document |
Pihak
kerajaan pemilik istana dan masyarakatnya masih belum puas dengan penghargaan
yang diberikan kepada masyarakat Islam saat itu. Untuk mengungkap keindahan
kebersamaan dan tingginya toleransi yang begitu sempurna antara masyarakat
Hindu dan Islam, belum dianggap cukup hanya dengan mengabadikan kata Mayora
yang berarti Burung Merak
menjadi nama istana. Tindakan saling mendukung, dan harmonisnya interaksi
sosial antara masyarakat Hindu dan Islam dalam berbagai
hal sejak masa awal kerajaan itu, bahkan lebih jauh lagi diabadikan menjadi
ornamen Bale Kambang. Yaitu
bangunan di atas air yang merupakan salah
satu bagian dari istana tersebut. Betapa
ornamen Bale Kambang yang syarat dengan pesan itu, sampai saat ini masih kita
temukan dan dapat menjadi inspirasi pendidikan bagi kita saat ini dan bagi
generasi masa depan di belakang kita.
Sumber: catatansikudaliar.blogspot.com |
Bale
Kambang adalah sebuah bangunan di atas kolam yang pada masa kerajaan berfungsi
sebagai tempat pertemuan internal kerajaan, tempat menerima tamu dan tempat
pengadilan. Ornamennya yang terdiri dari patung-patung yang mengelilingi
bangunan tersebut tidak hanya patung bernuansa Hindu. Tetapi terdapat beberapa
patung para tokoh penyebar Agama Islam di wilayah Pulau Lombok. Beberapa
kalangan meyakini patung-patung tersebut terdiri dari patung salah satu Wali
dari Jawa dan Makassar, dan tokoh penyebar Agama Islam dari Arab dan Cina. Mereka itulah yang diyakini melakukan
menyebarkan Agama Islam di Pulau Lombok dengan dukungan penuh dari pihak
Kerajaan Karangasem Lombok. Para tokoh dan peristiwa penyebaran Agama Islam
diabadikan dalam Istana Kerajaan Hindu yang sedang berkuasa. Betapa ini sebuah
dukungan, toleransi dan penghargaan luar biasa yang tak dapat dilupakan.
Tidakkah
ini dapat menjadi bukti sejarah dan tuntunan bagi kita yang hidup saat ini?
Bahwa mereka yang hidup di masa lalu telah mengajarkan pada kita semua, betapa
di masa lalu, di Pulau Lombok ini, antara Hindu dan Islam telah hidup
mesra berdampingan. Pulau Lombok telah menjadi sebuah ruang indah yang
menyajikan kemesraan toleransi antara ummat Hindu dan Islam.
Sumber: travelingtolombok.blogspot.com |
Dalam
hitunagan kasar, keindahan hubungan kemanusiaan ini sudah berlangsung selama
312 tahun sejak Tahun 1700 Masehi sampai saat ini, dan akan terus kita suburkan
bersama. Bukan sebatas dalam fakta sejarah yang masih terbukti. Bukan sekadar
ditemukan dalam buku-buku tersimpan di perpustakaan resmi. Ia bukan pula hanya
berupa jargon-jargon indah yang baru mulai digunakan untuk belajar memotivasi
psikologi massa untuk bersatu dan damai demi kemanusiaan. Tetapi sudah menjadi
fakta dalam kehidupan sosial masyarakat Lombok saat ini. Ijinkan penulis untuk
sekadar mengungkap sebuah fakta lain yang selalu dilakukan oleh masyarakat
Hindu dan Muslim setempat di lokai yang lain, yaitu di Pura Lingsar. Sebuah
Pura terbesar ummat Hindu di Lombok.
Sumber: travelingtolombok.blogspot.com |
Pura
Lingsar adalah tempat beribadah ummat dari dua agama yang berbeda. Pura ini
dibangun di dataran tinggi di belakang pemukiman muslim pada tahun 1714 Masehi.
Sejak selesai pembangunannya, pura ini sudah mulai digunakan secara
bersama-sama sebagai tempat beribadah oleh ummat beragama Hindu dan Islam
sesuai keyakinan dan cara mereka masing-masing. Untuk memupuk keharmonisan dan
menggambarkan kebersamaan yang begitu indah antara ummat Hindu dan Islam di
daerah tersebut, pura ini dibangun kembali secara bersama-sama oleh kedua pihak
pada tahun 1878 Masehi. Sampai saat ini, bagi ummat Hindu dan Islam setempat,
pura ini menjadi ruang indah tempat kemesraan toleransi untuk beribadah menurut
keyakinan dan cara masing-masing. Selain itu, di dalam lingkungan Pura Lingsar
juga telah dibangun Masjid yang digunakan untuk sholat oleh ummat Islam yang ingin
melakukannya di Masjid. Jadi keberadaan Masjid di lingkungan Pura Lingsar ini memiliki
keutamaan yang setara dengan Pura tanpa mengurangi semangat keidahan toleransi
dan semangat keindahan kebersamaan yang telah terbangun selama berabad-abad.
Sumber: ririctours.com |
Sungguh
mereka di masa lalu masih berada bersama kami, masyarakat Pulau Lombok saat ini.
Mereka pernah singgah di Bumi Sasak dan terasa masih hidup untuk mengajari kami
melalui budaya toleransi yang menjadi peninggalannya. Adalah untuk menjunjung toleransi,
mencintai manusia dan kemanusiaan. Jauh sebelum kata TOLERANSI itu menjadi
jargon yang makin dibanggakan dalam pidato, ceramah, kampanye dan dalam buku-buku
mahal yang tingkat kemahalannya juga semakin menjadi kebanggaan saat ini.
Sumber: nusatenggaraindonesia.com |
Tidak
terasa pelajaranku hari itu harus berakhir. Cahaya merah senja mulai menerpa,
merubah warna biru air telaga Bale Kambang di Istana Taman Air Mayura. Mentari
di ufuk barat hampir lenyap, tenggelam meninggalkan kami berdua. Sisa cahaya
mentari hanya mampu menembus celah-celah pohon sekadar untuk membuat warna
remang. Lampu taman belum dinyalakan. Tak ada lagi petugas. Dan pasti tak ada
lagi harapan untuk bisa lebih lama berdua dengan gadis itu, meski sekadar untuk
berbincang, sebatas untuk belajar.
Sumber: nusatenggaraindonesia.com |
Aku
enggan untuk beranjak meninggalkan tempat itu. Tapi harus kulakukan, karena
waktu kunjungan sudah selesai. Aku menatap gadis itu, tepat ketika di otakku
melintas pikiran, dan dibenakku tersimpan harapan, untuk dapat bertemu lagi.
Kusampaikan terima kasih untuk segala kebaikan yang kuterima hari ini. Aku pamit dengan menjabat tangan lembut gadis itu, seperti kulakukan ketika baru
bertemu tadi siang. Ia berbisik dengan suara begitu tulus di telingaku, ketika
aku sempat memeluknya untuk mengakhiri pertemuan indah ini:
“Kami suku Bali-Lombok sungguh beruntung. Menerima warisan
budaya begitu Agung bagi kemanusiaan. Segenap cinta kami bagi masyarakat Pulau Lombok.
Bagi seluruh manusia bumi tanpa ciri, seberkas cinta kami utuh tanpa beda.
Bukan sekadar buat kepentingan kami, tapi adalah bagi Indonesia seutuhnya”.
Sumber bacaan untuk tulisan ini:
Andi,
2012. Catatan Diskusi dengan Guide Wisata Budaya Istana Taman Air Mayura
(Andy), 22 Desember 2012. Cakranegara, Mataram – NTB.
www.nusatenggaraindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar