“Ini
kawasan hutan sekaroh. Tapi sudah berubah menjadi semak belukar”, kata Adhe
dengan suara pelan. Aku memperhatikan bola matanya yang bening itu, berbinar menatap
semak belukar di kaki bukit. Menyapu setiap sudut. Ia membelakangi pantai. Lalu
bergerak beberapa langkah. Matanya tampak gelisah dan berusaha berkonsentrasi.
Seperti mencari sebuah titik. Ia mencari dari arah mana suara lengking itu
mengalun. Suara kokok sisa-sisa ayam hutan yang hampir punah. Suara indah yang
saling menyahut. Saling menyambut, bersambung tak berujung.
“Tidak
adil, . . dan sungguh menyedihkan!!”, ucap gadis itu sambil membalikkan
badan. Melangkah kembali ke arah pantai. Sangat jelas tampak wajahnya memerah
karena kecewa. Kelihatan sangat kesal. Karena burung-burung itu tak bersuara
lagi. Bahkan lari ketakutan. Bersembunyi di balik semak di kaki bukit. Karena
dikejar tiga orang pemburu yang ingin menjadikan mereka mangsa. Pemuas
kebutuhan perut manusia.
Adhe berusaha mengalihkan konsentrasinya dan
mengubah topik perbincangan kami. Aku duduk di samping kanannya, sambil
mendengarkan. Ia begitu fasih bercerita dengan runtun tentang tempat indah ini.
Pantai
Pink. Sebuah pantai unik di belahan tenggara Pulau Lombok. Pantai yang
menjadi batas tepi Hutan Sekaroh yang berhadapan langsung dengan Samudera
Hindia. Terletak berjejer dengan pantai Tanjung Ringgit. Jika kedua pantai ini
tidak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah dunia, mungkin karena para
penulis sejarah sengaja melupakannya atau mereka memang tidak mengerti tentang
kedua pantai ini. Karena pada waktu peristiwa sejarah berlangsung di tempat
ini, para sarjana sejarah itu memang belum lahir.
Sumber Foto: http://wordandgeneralknowledge.blogspot.com |
Para sepuh masyarakat Lombok Selatan sebagian
besar paham. Mereka mendapat penjelasan dari orang tua mereka yang sudah dewasa
pada masa Perang Dunia II. Pada masa penjajahan Jepang, Pantai Pink menjadi
tempat sangat istimewa bagi bala tentara Jepang. Menjadi tempat pelepas penat.
Tempat menikmati keindahan alam dan mereguk kebahagiaan di sela-sela pertaruhan
nyawa melawan tentara Sekutu Amerika. Mereka dapat melesat berlari dengan cepat
masuk ke Hutan Sekaroh, bila ada tanda-tanda ancaman dari musuh mereka saat
itu. Tebing Tanjung Ringgit di sebelah barat Pantai Pink menjadi dinding
pengaman bila terjadi serangan dari arah laut. Oleh karena itu mereka membangun
Gua Tanjung Ringgit sebagai tempat persembunyian.
Pantai Pink, Tanjung Ringgit dan Hutan
Sekaroh menjadi segitiga pengaman bagi tentara Jepang, sejak sekitar 3 tahun
sebelum “the little boy” menghanguskan kota Hiroshima dan Nagasaki pada
Agustus 1945. Mereka meninggalkan tempat ini dengan penuh kesedihan. Penuh
duka, karena dua kota itu telah menjadi neraka yang menghanguskan sanak saudara
mereka. Sangat tepat orang-orang tua di sekitar Kecamatan Jerowaru dan Keruak
Lombok Timur memberi nama untuk pantai ini. Untuk mengenang sejarah pendudukan
Jepang di daerah ini. Pantai ini disebut dengan nama Pantai Tangsi, yaitu
pantai yang merupakan Barak Militer (Tangsi) pada masa penjajahan Jepang.
Sumber Foto: http://twicsy.com |
Adhe tersenyum mengakhiri penjelasannya
tentang penjajahan Jepang. Karena hari ini adalah hari pertamanya di Lombok,
setelah 11 hari berada di Jepang untuk mengikuti pelatihan. Ia tersenyum karena
mengenang kondisi masyarakat Jepang saat ini. Mereka berubah total. Sedikitpun
tidak menggambarkan diri mereka pernah menjadi bangsa penjajah. Mereka tumbuh
menjadi bangsa yang ramah dan sopan. Mereka sangat hormat dan santun kepada orang
Indonesia yang datang ke Jepang. Bahkan kepada bangsa manapun yang datang ke
negara mereka.
“Lihat
arah setiap gejolak dari gelombang samudera itu”. Adhe memulai topik baru
tentang Pantai Pink. Telunjuknya mengarah ke tebing karang dan batu cadas yang kokoh
di pantai Tanjung Ringgit, sebelah Barat Pantai Pink. Adhe menjelaskan
pekerjaan alam semesta. Sungguh alam begitu teliti, teratur sempurna dan jujur
demi kepentingan dan kebahagiaan manusia. Gelombang itu bekerja sepanjang
tahun. Hampir tidak ada detik jeda tanpa geka liar mereka di pantai Tanjung
Ringgit untuk menciptakan keindahan di Pantai Pink.
Sumber Foto: http://scenic-tourism.blogspot.com |
Gelombang air yang ganas itu mulai dengan
menghempaskan diri pada tebing cadas yang sangat kokoh di Tanjung Ringgit. Lalu
memantulkan diri setelah kehabisan tenaga. Mengalir pelan ke arah timur dan
utara. Menciptakan kecipak gelombang-gelombang kecil persis di depan
garis-garis lurus sepanjang Pantai Pink. Gelombang-gelombang kecil ini memberi
warna putih. Menghiasi air tenang berwarna biru tua seluas-seluasnya pada
sepanjang pantai merah muda ini. Warna biru laut itu berpadu begitu indah
dengan warna merah muda pasir pantai.
Sumber Foto: http://twicsy.com |
Di beberapa titik Pantai Pink terdapat tebing
dan bukit-bukit kecil berderet. Mereka seperti sengaja diletakkan di atas tanah
datar dan landai. Hamparan tanah coklat yang penuh belukar dan rumput liar
sampai batas bibir pantai. Di ujung timur masih terdapat pohon-pohon berbatang
keras dan berdaun rindang. Pepohonan ini yang selalu bekerja keras sepanjang
hari. Menahan kencangnya angin pantai. Lalu membelokkannya agar berubah arah
dengan gerak pelan. Menciptakan aliran angin lembut menerpa permukaan pasir
merah muda. Membangun rasa teduh pada terik matahari siang. Betapa alam begitu
cerdik menyulap dirinya sendiri. Seperti melawan fakta. Tapi juga untuk
menciptakan fakta. Agar dapat hadir menjadi pengalaman manusia. Agar manusia
dapat merasa sejuk di bawah teriknya panas.
Seperti halnya pantai-pantai Selatan lainnya
di Indonesia. Pantai Pink tergolong pantai yang bersisi lebar. Hamparan pasir
merah muda ini antara 10 – 30 meter dari batas air laut ke batas bibir pantai di
tepi semak belukar atau hamparan rerumputan. Kawasan Hutan Sekaroh ini memiliki
tanah yang masuk pada golongan tanah gramusol liat berwarna kuning (Yellow Clayey). Tanah yang sangat subur
untuk pertanian. Keindahan warna kuning dan pink tidak hanya menjadi milik
pasir dan tanah di sekitarnya. Karang dan cadas di sekitar daratan ini juga
berwarna indah. Terutama kuning dan coklat. Sedangkan karang di dasar laut
memiliki lebih banyak ragam warna-warni, tapi sebagian besar merah tua dan
merah kekuningan. Warna-warna lain seperti hijau muda, putih, dan coklat tua
hanya menjadi pelengkap penghias dasar laut.
Sumber Foto: http://wisatapulaulombok.org |
Tapi keindahan Pantai Pink bukanlah segalanya
di kawasan ini. Pantai Pink bukan satu-satunya magnet keindahan yang dimiliki
oleh kawasan pantai yang disebut Pantai Tangsi. Di sebelah kiri dan kanannya
terdapat juga pantai berpasir putih. Tapi yang jauh lebih menarik, justru
Pantai Tangsi ini memiliki sejumlah pantai indah tanpa pasir. Tanpa butir batu
kecil dan butir karang dari sisa guguran dan pelapukan. Yaitu pantai bertebing
indah dan terjal. Pantai ini menjadi sasaran para pencari ketenangan. Pencari inspirasi.
Menikmati bentuk-bentuk tebing raksasa. Tebing dari batu cadas yang terukir
tanpa pahat. Dibangun oleh alam dalam rencana ribuan tahun. Diciptakan oleh
tetes air hujan, gesekan angin lembut, dan genangan air tenang. Air garam yang
menggenang dan mengikis dengan cara apik, pelan dan lembut sepanjang zaman
tanpa henti.
Sumber Foto: http://puppytraveler.com |
Warna biru yang sangat kuat. Tak mau kalah
dengan birunya langit yang memayungi. Air garam berwana biru tua. Menggenangi
tebing. Tenang tanpa riak gelombang. Bahkan lebih tenang dari air kolam yang
kita bangun sendiri dengan rencana berbiaya mahal. Semilir angin mendatangkan
rasa sejuk. Meski tanpa pohon tempat berteduh di bawah teriknya siang.
Tebing-tebing itu cenderung berwarna abu. Di beberapa tempat terdapat bagian
tebing berwarna kuning dan pucat. Di bawah beberapa bagian tebing terdapat
ruang ciptaan erosi oleh air garam. Sehingga air laut mengalir menjorok ke
bawah tebing membentuk teluk-teluk kecil ke arah daratan. Entah sejauh berapa
meter ruang teluk dan genangan air itu tersimpan di bawah tebing ke arah darat.
Menjadi tempat bersembunyi bagi ikan karang yang liar. Ketika ingin berlindung
dari kejaran nelayan rakus yang selalu tak pernah puas dengan ikan jinak yang
berlimpah.
Sumber Foto: http://wisatapulaulombok.org |
Bentuk tebing ini sangat beragam. Terpencar
di sejumlah titik pantai kearah timur. Sampai sebuah titik paling terjal yang
disebut Ujung Ketangga. Berada di telapak kaki kanan Pulau Lombok, pada titik
paling selatan di kawasan tenggara. Beberapa tebing berdiri kokoh tegak lurus.
Ada yang miring tapi terjal. Terdapat juga yang hanya berupa onggokan tanah
yang seolah-olah sengaja diletakkan seperti tanpa alas tempat bertumpu. Ada
yang mirip es krim raksasa sedang terapung. Dan masih terdapat lagi bentuk-bentuk
lain yang terlalu banyak untuk disebutkan saat ini.
Sumber Foto: lombokituindah@facebook.com |
“Apakah
di sekitar ini ada penginapan?”, tanyaku menyela ketika Adhe begitu serius
bercerita sambil menunjuk tempat-tempat yang disebutkan. Adhe hanya tersenyum.
Nampaknya ia enggan menjawab. Lalu mengatakan: “Saat ini aku hanya ingin bercerita tentang keindahan dan karunia alam
di Pantai Pink dan sekitarnya. Penginapan adalah hal penting tentang pariwisata”.
Aku sedikit kecewa dengan jawaban Adhe. Hal ini menyebabkan aku makin penasaran
dan langsung menambah pertanyaan: “Apakah
kamu tidak suka dengan pariwisata?”. Adhe bukan langsung menjawab. Tapi
malah tertawa terpingkal-pingkal. Ia rupanya membaca pikiranku yang begitu
dangkal. Ditangkap dari pertanyaanku yang mungkin agak konyol menurut
pikirannya.
Adhe keliahatan serius memikirkan jawaban
yang paling tepat. Mungkin untuk tidak membuat aku tersinggung. Ia kelihatan merenung
dan memalingkan wajah ke arah pantai. Lalu menjelaskan dengan sangat santun: “Pariwisata juga sangat penting. Kamu harus
yakin sepenuhnya. Tentang pariwisata, sesungguhnya adalah tentang masa depan
Lombok. Tapi apakah masyarakat dan pihak-pihak lain memerlukan aku untuk bicara
saat ini? Mungkin lebih tepat nanti ketika ada pihak yang tertarik dan
memerlukannya. Pada saat itu aku akan bicara untukmu. Tentang pariwisata”.
Jawaban Adhe membuat aku jadi mengerti, bahwa
pariwisata sangat penting bagi Pulau Lombok. Bagi masyarakatnya. Tapi selama
ini, Adhe berbicara tentang segala hal yang baik mengenai Lombok. Misalnya tentang
potensi alam, budaya, sejarah, toleransi, dan sebagainya. Katanya, agar orang
mengenal Lombok lebih baik dari yang mereka sudah kenal selama ini. Sedangkan
pariwisata hanya salah satu tentang Lombok, meskipun sangat penting. Dan
hal-hal yang sudah pernah dibicarakan selama ini, juga sebenarnya topik-topik
yang dapat mendukung pariwisata pada saat dan dengan cara yang tepat. Karena
semua itu dibutuhkan untuk membangun program dan mendukung kehidupan
pariwisata. Misalnya tentang toleransi yang tidak dapat diabaikan
untuk dapat menerima program pariwisata. Kemudian tentang budaya dan
sejarah; keduanya dapat menjadi obyek sangat menarik dalam program
pariwisata.
Adhe mengajakku berjalan ke arah belakang
pantai, sambil melanjutkan ceritanya. Mungkin ia ingin menikmati angin di kaki
bukit hijau itu. Hamparan rumput liar dan belukar tampak sangat luas, sejauh
mata memandang. Aku hampir tidak percaya kalau daerah ini disebut kawasan hutan.
Karena pohon besar sebagai ciri hutan sudah tidak ditemukan lagi. Tapi juga tidak
tampak adanya pemukiman penduduk untuk dapat disebut sebagai kawasan kampung.
Di beberapa tempat di balik bukit kelihatan adanya ladang pertanian jagung.
Tapi sepi tak ada manusia satu orang pun.
Adhe menjelaskan, bahwa lokasi ini masuk
dalam wilayah desa baru yang resmi dibentuk pada tahun 2012. Desa
Sekaroh, sebuah nama untuk mengabadikan nama Hutan Sekaroh. Lokasi tempat
kami berdiri sekitar 4 kilometer dari pusat Desa Sekaroh. Sekitar 9 kilometer
dari pusat Kecamatan Jerowaru. Ada transportasi angkutan pedesaan, tapi tidak
terlalu lancar dan tidak dapat diandalkan. Karena lokasi ini bukan lokasi
pemukiman. Orang yang datang ke tampat ini biasanya menggunakan ojek, atau
kendaraan pribadi.
Aku tidak terlalu tertarik dengan penjelasan
detail tentang nama desa dan nama kecamatan. Apalagi tentang jarak-jarak tempat
dan alat transportasi. Aku merasa geli, seperti sedang diajari mengisi formulir
sensus penduduk. Aku coba mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan yang
menurutku topiknya lebih penting: “Terus,
tanah lapang seluas ini, sekarang siapa yang memiliki?” tanyaku sambil
memotong pembicaraan.
Adhe terkejut dengan pertanyaan tentang
kepemilikan tanah. Di suatu wilayah yang belum ada pemukiman dan masih
berstatus Kawasan Hutan. Ia berusaha menjawab dengan tenang. Meski jawabannya
sedikit teoritis dan merujuk pada aturan formal. Sambil mengangkat bahu, Adhe
mengatakan dengan sangat bijak: “Di
Indonesia, setiap lokasi yang bernama Kawasan
Hutan, adalah milik Negara. Pemanfaatannya di bawah kontrol Pemerintah”.
Langsung saja pikiran usilku menduga-duga. Adhe mengangkat bahu ketika mau
menjawab, mungkin karena mengetahui ada hal yang aneh. Atau paling sedikit
pernah mendengar sesuatu yang janggal. Konon, di daerah ini ada tanah yang
diakui sebagai milik pribadi. Ada juga tanah yang pernah diperjual-belikan
secara pribadi oleh orang-orang tertentu. Kasus semacam ini tentu saja bukan di
bawah kontrol Pemerintah. Atau tidak diketahui oleh Pemerintah. Istilah yang
populer di kalangan para calo tanah: kasus transaksi di bawah tangan.
Aku berusaha untuk melupakan kasus-kasus
tangan kotor yang merugikan negara itu. Meski sempat mengganggu pikiranku.
Lebih baik aku segera memilih topik pembicaraan yang lebih berarti. “Lalu bagaimana dengan gua Tanjung Ringgit?
Tadi pagi kamu belum menjelaskan secara detail tentang gua itu”, tanyaku
lagi tentang topik yang lain. Adhe memegang tanganku. Kami kembali berjalan ke
arah pantai. Hari sudah senja. Cahaya merah mentari menerpa laut dan pantai. Menyebabkan
warna pink semakin kuat pada setiap sudut di seluruh ruang pantai. Di
bukit-bukit indah itu. Bahkan untuk setiap butir pasir.
Adhe menjawab pertanyaanku sambil mengulas
senyum: “Kamu akan segera mengetahui. Aku akan bercerita lagi tentang dua hal.
Pertama tentang legenda Putri Nyale. Yang kedua tentang Tanjung Ringgit itu. Goreskan
keduanya menjadi artikel berikutnya dalam blogmu. Karena pilihanmu untuk
berbagi dengan setiap orang. Tentang Lombok. Dan kita akan bertemu untuk hal
yang lebih besar pada Juni mendatang.” Adhe mengakhiri ceritanya ketika
senja indah menjemput malam. Sinar matahari telah redup. Tembaga merah itu
sudah siap menukik lubang menuju peraduannya. Terima kasih Adhe. Artikel ini
kutulis untukmu. Untuk kehadiranmu hari ini di Pantai Pink. Di tanah Lombok
ini.
*) artikel ini ditulis untuk Adhe yang pada
12 Maret 2013 tiba di Pantai Pink, setelah 11 hari belajar di Jepang.
Sungguh indah....
BalasHapustapi blum sempet ksana :(
+nienk ridwan. Terima kasih untuk komennya. Pada saat yang tepat, Anda pasti akan punya kesempatan datang ke sana. Dan pada saat itu itu nanti, Anda akan mengatakan: "Karena aku menginginkannya, ternyata aku jadi memiliki kesempatan datang ke tempat indah ini."
Hapus