Sabtu, 23 Februari 2013

Lombok – Pujawali Ketika Gugur Kembang Waru



Sumber Foto:  www.yampu.com

Apakah ini rentang waktu yang terlalu singkat?” Tidak lebih dari 30 menit dalam setahun. Hanya 30 menit dalam 365 hari. Dan harus tepat hanya pada hari itu. Pada tanggal dan hari Purnama Bulan ketujuh dalam Kalender Sasak. Pada menit-menit dan detik-detik itu, matahari sore menukik di balik lereng Gunung Rinjani, sembari memancarkan sisa-sisa cahaya. Membentuk warna merah tembaga membungkus Bumi Lombok. 

Cahaya matahari saat itu, diiringi bunga-bunga waru yang jatuh berguguran. Berputar-putar pada porosnya sebelum menerpa tanah bumi. Menciptakan kesadaran dan rasa takjub pada keagungan dan kekuasaan Sang Maha Pencipta. Menuntun kearifan masyarakat Bumi Lombok. Untuk memuji dan memuja Sang Maha Tunggal. Sang Suro Ing Jagad.

Detik-detik dalam 30 menit itu dipandang sebagai detik-detik Sakral. Dalam filsafat alam Masyarakat Lombok disebut sebagai waktu “Rarak Kembang Waru”, yaitu saat gugurnya bunga waru. Pada detik-detik itu, masyarakat Lombok melakukan ritual persembahan yang disebut Pujawali.

Sumber Foto: www.kyaimbeling.wordpress.com

Bunga waru nampak begitu segar dan bahagia ketika kuncup di pagi hari. Ia mekar menyambut mentari siang dengan menebar aroma yang dimilikinya. Lalu menjadi merah ketika matahari mulai condong menuju sore. Dan akhirnya jatuh berguguran ketika menjelang senja, mengiringi matahari tenggelam. Bunga-bunga yang belum jatuh sampai tenggelam matahari, diam tak bergeming. Menahan diri. Menunggu tibanya detik-detik yang persis sama pada hari esok.


Masyarakat Lombok yang sebagian besar terdiri dari Suku Sasak beragama Islam dan Suku Bali beragama Hindu, memiliki penalaran dan keyakinan yang sama. Bahwa bunga waru gugur pada senja hari bukan sesuatu yang kebetulan. Tetapi karena ia tunduk pada hukum dalam Sistem Alam Semesta. Sebagai caranya memberikan persembahan pada Tuhan. Sang Maha Pemberi. Sang Maha Penyantun. Karena telah memberinya kebahagiaan hidup sebagai tumbuhan. Bertengger tanpa beban mengambil sari-sari makanan dan air. Dari tanah bumi yang tak pernah meminta imbalan. Dari langit jagad raya yang tak pernah mengharap sumbangsih.

Gumpal kesadaran ini telah lama mengkristal begitu keras. Kokoh tak tergoyah. Secara turun-temurun telah tertanam begitu dalam pada dasar jiwa Masyarakat Lombok. Kristal indah kesadaran ini yang menuntun kearifan mereka untuk melakukan persembahan sebagaimana dicontohkan oleh matahari dan bunga waru. Persembahan ini kemudian disebut Pujawali. Dengan memilih detik-detik Gugur Bunga Waru pada hari Purnama Bulan ketujuh kalender Sasak. Menjelang tenggelamnya matahari. Sekali dalam setahun.


Sumber Foto: www.lombok.panduanwisata.com
Di daerah pantai di Pulau Lombok. Pada rentang waktu detik-detik dalam 30 menit itu, matahari sedang menebar cahaya merah mewarnai langit. Kemudian memantul menerpa air laut di seluruh pantai. Melintas membentuk warna merah-kuning keemasan membungkus atmosfer bumi. Sementara sisa-sisa cahaya yang tak dipantulkan oleh air laut, tidak tinggal diam. Tapi melakukan hal lain untuk kepentingan mahluk yang lain. Sisa cahaya ini menekuk tepat di bawah permukaan air laut. Membentuk sudut bias. Sinar yang membias ini seketika mengubah warna air laut. Menyentuh mahluk biota laut. Lalu menebar keindahan dan memberi kemakmuran hidup bagi mereka di dalam laut. Begitu rapi, detail, dan indahnya alam semesta menabur karunia Tuhan. 

Persis pada saat yang sama, sisi lain dari alam semesta bekerja penuh cinta dengan cara yang lain. Karena sebagaimana matahari, mereka juga tunduk pada sederet hukum alam dalam sebuah Sistem yang sama. Sebuah sistem yang disebut Sunnatullah. Segalanya berjalan dalam sebuah Sistem dengan begitu santun, dalam bungkus kearifan Sang Maha Lembut.
Sumber Fotowww.nimadesriandani.wordpress.com



Bunga waru berguguran, demi pengabdian kepada Sang Maha Santun. Ia rela runtuh dari pohonnya. Meninggalkan ranting, menerpa tanah. Berserakan mengikuti angin. Seperti matahari, ia juga memberi warna merah dan kuning dari setiap kuntumnya. Dua warna dengan nuansa berbeda. Untuk memperkaya corak dan keindahan warna yang telah dibaktikan oleh Sang Matahari. Bunga-bunga waru juga menebar wangi. Memberi aroma harum pada bumi. Demi manusia, demi seluruh biota darat. Mereka tak pernah bersedih. Meski terinjak kaki yang tak pernah rela terbuka untuk mengerti dan paham tentang pengabdian. Bahkan bunga-bunga itu bersyukur dan memuji, bila lebih cepat menjadi hancur dan lapuk. Karena dapat mempercepat wujud pengabdian dan persembahannya. Mempercepat kesempatan untuk bekerjasama dengan bakteri dalam tanah. Untuk segera menjadi pupuk penyubur ladang gersang. Bersama bakteri nitrogen (nitrosobacter), demi kepentingan tumbuhan dan tanaman lain. Agar dapat segera terpenuhi kebutuhan hidup bagi hewan dan manusia.



Sumber Foto:  www.my.opera.com
Matahari dan Bunga Waru menjadi Simbol filosofis dalam nama ritual Pujawali. Mereka digunakan oleh masyarakat Lombok hanya untuk mewakili para tokoh besar yang tunduk, bekerja dan mengabdi dalam seluruh Sistem Alam Semesta. Mereka mengabdi sebagai persembahan mereka pada Ilahi. Sebagai bukti pengakuan kemahlukan terhadap Sang Khalik. Terlalu banyak nama tokoh besar yang telah mengabdi dengan cara hampir sempurna. Tapi telah terabaikan oleh manusia. Bahkan pasti tidak cukup tempat dan waktu untuk disebutkan dalam tulisan yang pendek ini. Sekadar sebagai contoh, beberapa dari para Tokoh besar itu antara lain: Ikan, Hutan, Kecoak, Samudera, Angin, Gunung Berapi, Ombak, Kodok, Lumpur, Burung, Emas, Oksigen, dan terlalu banyak lagi tokoh lainnya.

Jadi, nama ritual Pujawali meletakkan kalimat “Rarak Kembang Waru” adalah menyimbolkan sebuah momentum kolaborasi pengabdian Matahari dan Bunga Waru. Sebagai perwakilan seluruh tokoh alam semesta. Nama ini digunakan oleh masyarakat Lombok sebagai nama persembahannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan budaya sekali setahun.


Sumber Foto:  www.rifqiamriputri.blogspot.com
Pujawali, pada hakekatnya adalah serangkaian ritual untuk bersyukur dan berdoa secara langsung kepada Tuhan. Karena Dialah pemilik Sistem Alam Semesta. Pemberian-NYA tak ternilai dan tak akan pernah mampu dibalas secara imbang oleh manusia.


Secara teknis, bersyukur dan berdoa ini dilakukan dengan serangkaian kegiatan Persembahan, Perenungan, Doa dan Silaturrahim Peserta. Namun rentang waktu yang dipandang sebagai menit-menit dan detik-detik sakral tidak lebih dari 30 menit. Maka dalam waktu sesingkat itu yang dapat dilakukan hanya kegiatan terakhir, yaitu Silaturrahim Peserta. Tujuannya agar dapat selesai tepat pada detik-detik terbenamnya matahari. Sedangkan kegiatan persembahan, perenugan dan doa, dilakukan lebih dulu. Harus selesai sebelum saat yang dipandang sakral tiba.

Silaturrahim Peserta ini dilakukan dalam bentuk Perang Topat (bahasa sasak: topat = ketupat). Oleh karena itu, upacara Pujawali ini lebih dikenal dengan sebutan Perang Topat. Inilah yang dilakukan dalam 30 menit waktu sakral.


Sumber Foto:  www.berbagifun.blogspot.com
Perang Topat” bukan untuk saling membunuh. Tidak untuk saling menyakiti. Ini sebuah perang indah setelah melakukan serangkaian persembahan kepada Tuhan. Perang untuk saling menyapa, mengenal, menyambut, bersatu, kompak dan saling mendukung. Perang topat pada hakekatnya merupakan ajang terbuka bagi Manusia Bumi. Untuk secara bersama-sama menyambut dan mensyukuri setiap keselamatan yang telah diterima dan akan terus diberikan oleh Tuhan. Ditekankan pada kata bersama-sama, karena mengandung pengertian: “agar Seluruh Manusia Bumi berbahagia dan bersyukur atas pemberian Tuhan”.

Sumber Foto:  www.berbagifun.blogspot.com
Seluruh rangkaian kegiatan dilakukan di Pura Lingsar. Pura Hindu terbesar di Pulau Lombok. Dari tahun ke tahun pemerakarsa dan fasilitator kegiatan ini adalah masyarakat suku Sasak dan Bali-Lombok. Mereka sekaligus sebagai tuan rumah. Namun demikian, pesertanya ditujukan bagi siapapun. Dari manapun asal-usulnya tanpa perlu diundang. Setiap orang yang berminat berhak untuk berpartisipasi. Tidak ada pencirian dan pembedaan. Tidak pernah dipedulikan tentang asal-usul kelompok, suku, agama, paham, pandangan politik, warna kulit, rambut dan sebagainya. Karena hakekat ritual ini adalah Silaturrahim bagi manusia bumi. Fakta dalam sepuluh tahun terakhir kita sering melihat wisatawan mancanegara yang kebetulan sedang di Pulau Lombok ikut berpartisipasi dalam seluruh prosesi perang topat.

Sumber Foto:  www.balegili.com

Panitia dan berbagai pihak dari masyarakat suku Sasak dan Bali-Lombok mempersiapkan keperluan persembahan. Terdiri dari ketupat, berbagai jenis makanan, buah-buahan, hasil bumi dan kebun odek. Persembahan diarak dari desa-desa terdekat menuju lokasi pada siang hari pelaksanaan. Mereka membentuk kelompok-kelompok khusus yang berpakaian adat. Kadang para muda-mudi juga membentuk kelompok berpakaian adat untuk memeriahkan acara. Bagi para peserta sesungguhnya tidak ada ketentuan untuk membawa persembahan maupun dalam hal berpakaian.



Sumber Foto:  www.suarantb.com

Sebelum ritual utama dilakukan, panitia mengatur para peserta yang datang. Mereka berbaris teratur, berkeliling bersama. Keadaan di lingkungan Pura menjadi begitu nyaman, tertib dan indah.  Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Ribuan peserta dengan berbagai latarbelakang berbeda, berbaris dan bergerak keliling dengan hidmat. Kostum mereka berwarna-warni. Sejumlah kelompok menggunakan seragam yang dirancang sendiri menurut seleran para anggota setiap kelompok. Meskipun demikian, banyak juga kelompok lain yang anggotanya berpakaian bebas, seperti halnya peserta yang datang tanpa kelompok.

Sumber Foto:  www.indonesia-lombok.de
Pemandangan ini membuat rasa haru. Menjadi pelajaran dan pendidikan luar biasa berharga: bahwa mancawarna-warni itu indah untuk bersatu, indah dalam kebersamaan. Keadaan ini menunjukkan, ritual Pujawali dan Perang Topat sungguh bukan hanya milik masyarakat suku Sasak dan Bali-Lombok. Mereka hanya kebetulan sebagai pemerakarsa dan fasilitator pelaksanaan. Karena kebetulan dilakukan di Pulau Lombok. Ritual ini sugguh telah menjadi milik dunia, milik Manusia Bumi. Bagaimanapun, meski peserta lain masih dalam jumlah yang tidak sebanding dengan kedua suku pemerakarsa itu, namun peserta ritual ini terdiri dari berbagai suku, agama, asal kelahiran dan tempat tinggal. Bahkan diikuti juga oleh pendatang dari luar Pulau Lombok. Termasuk para tamu bangsa yang datang dari luar negeri sebagai wisatawan. Jelas terlihat dan menjadi pelajaran berharga dalam ritual ini, "bahwa pluralisme adalah kekayaan yang sangat berharga". Pluralisme benar-benar menjadi sesuatu yang indah, penuh energi dan menabur cinta.

Sumber Foto:  www.life.viva.co.id
Arak-arakan bergerak sangat pelan. Setiap pasang kaki melangkah teratur. Nampak tidak ada ketegangan di wajah setiap peserta. Meskipun nama ritual ini lebih dikenal dengan kata “perang”, yaitu Perang Topat.




Tempat akhir yang dituju perjalanan arak-arakan adalah Pura Kemalik. Di pura ini seluruh persembahan diletakkan, termasuk kebon odek. Di Pura Kemalik peserta menunggu tibanya saat perang dimulai. Pihak panitia menjelaskan aturan (bahasa sasak disebut awik-awik) yang harus ditaati bersama. Terutama tentang waktu mulai dan waktu harus berakhirnya perang. Karena waktu adalah hal yang dipandang sakral. 
Di halaman yang begitu luas diatur tempat peserta. Arah lemparan agar berhadapan Utara – Selatan, serta diperlukan jarak secukupnya. Sementara menunggu saat perang tiba, masih tersedia waktu yang cukup untuk melakukan perenungan dan do’a menurut keyakinan dan cara masing-masing.

Situasi menjadi hening ketika menunggu tibanya waktu, menit-menit dan detik-detik perang. Peserta bukan tegang. Tapi hening karena perenungan dan do’a setiap peserta. Semakin dekat detik yang dinatikan, semakin hening dan terasa semakin nyaman dan damai. Saat itu, hari sudah sore. Cahaya matahari tidak lagi menyengat kulit, tapi masih menerpa wajah dengan lembut dan hangat. Tiba-tiba terdengar aba-aba perang dimulai.


Sumber Foto:  www.lombokbaratkab.go.id

Seketika terdengar suara gemuruh peserta. Riuh membahana. Gemuruh yang tak sengaja terangkai indah. Suara reflek yang berpadu. Hasil reaksi serentak ribuan orang. Menyambut tibanya detik awal untuk bersyukur pada Tuhan yang mereka puji atas segala kebaikan.Saat mulai saling menyapa.

Suara yang keluar dari setiap orang tak seragam. Karena bentuk kata dan bunyi memang tak ditentukan. Tanpa pernah diatur. Tapi terdengar begitu indah. Karena perbedaan bunyi itu berpadu pada detik yang tepat sama. Dari ribuan orang dengan frekwensi getar bunyi dan volume suara yang berbeda. Terasa begitu kuatnya peranan alam membangun komposisi indah dari perbedaan bunyi.

Sumber Foto:  www.berbagifun.blogspot.com
Begitu luarbiasanya kemampuan alam menciptakan aransemen dengan seketika dalam ukuran detik. Untuk memadukan ribuan bunyi yang berbeda menjadi sebuah ciptaan bunyi baru yang begitu indah. Bunyi yang sangat kuat dan khas. Yang kemudian mampu menggugah jiwa dan membangun rasa. Menciptakan semangat. Membentuk gairah. Mendatangkan energi untuk berani dan jujur saling menyapa. Untuk sebuah silaturrahim melalui sebuah perang indah. Perang yang ramah. Perang untuk menjadi manusia yang terbuka, dan semakin terbuka. 

Sungguh pluralisme dalam bunyi juga merupakan kekayaan. Dapat menjadi sumber kebahagiaan. Melalui rasa, semangat, gairah, energi, keberanian dan kejujuran dalam menjalani hidup.

Sumber Foto: www.bali.panduanwisata.com
Mereka mulai saling menyapa. Untuk saling mengenal dengan cara saling melempar menggunakan ketupat, dari dan menuju arah Utara-Selatan. Saling menyapa untuk saling mengenal, atau dalam kalangan muslim disebut Silaturrahim. Adalah falsafah dari kata “perang” dalam Perang Topat. Bertujuan untuk membangun kebersamaan, keharmonisan dan kekuatan yang menyatu. Dalam “menyambut, menerima dan mensyukuri” segala kebaikan dan keselamatan yang telah diterima dari Tuhan.



Sumber Foto:  www.battyra.com
Setiap orang maupun kelompok yang ada di lokasi itu memiliki peluang sama untuk melempar dan dilempar. Pada saat itu, tidak ada pembedaan status sosial bagi siapapun dalam hal peluang untuk melempar dan dilempar dengan ketupat. Semua Manusia Bumi berada pada status dan derajad yang sama. Ketupat berseliweran di udara dan dapat dengan bebas menerpa semua bagian tubuh yang sedang lengah. Bisa mengenai kepala, hidung, tengkuk, punggung, atau tangan. Lemparan bisa juga hanya jatuh menumbuk tanah tidak mengenai sasaran.




Ini sunggung sesuatu yang terasa aneh, menakjubkan, tapi membahagiakan semua pihak yang ada di lokasi perang!!!. Yaitu ketika kecamuk ketupat di udara bergerak tidak lagi teratur mengikuti arah Utara-Selatan. Begitu cepat berseliweran dari segala arah tanpa dapat dikontrol. Pada menit-menit dan detik-detik itu, tidak ada ketegangan sedikitpun. Tidak ada ketegangan antar pribadi maupun antar kelompok. Malah mereka saling tertawakan.


Dalam sebuah kelompok, sering terjadi para anggotanya berbuat iseng. Melempar temannya sendiri dalam satu kelompok. Tapi tidak terjadi ketegangan apapun diantara mereka. Sampai saat ini aku belum dapat memahami bentuk psikologi massa seperti apa yang terjadi dalam interaksi sosial seperti itu?


Sumber Foto:  www.thelombokguide.com
Suara tertawa terbahak-bahak dan sikap tubuh gembira terpingkal-pingkal malah mulai muncul dari mereka yang bagian tubuhnya diterpa ketupat. Lemparan ketupat itu dapat berasal dari orang yang mungkin tidak dikenal sama-sekali. Mungkin juga dari teman sendiri. Suara tawa dan sikap tubuh yang sama juga terjadi pada orang yang sedang bangga karena lemparannya tepat mengenai sasaran.

Aku pernah menyaksikan suara tawa yang paling besar, menggelegar sedikit aneh. Terjadi pada orang yang jidadnya tertimpa lemparan ketupat becek. Padahal hanya beberapa detik sebelumnya orang itu sedang bangga mentertawakan orang lain yang juga sedang tertawa, karena pipinya tertimpa lemparan ketupat becek pula. Aneh, tapi indah,... dan sungguh menggembirakan. Aku sungguh bahagia mentertawakan mereka. Tapi akhirnya aku baru menyadari, dan sedikit risih ketika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa mereka tertawa begitu keras, karena menganggap aku sangat lucu. Tanpa ku ketahui bekas ketupat becek bercampur tanah melekat di keningku. Mungkin ada orang memungut ketupat yang berserakan di tanah, lalu melemparkannya menimpa keningku.

Sumber Foto: www.badungtourism.com

Mereka hampir tak merasakan waktu berjalan begitu cepat. Bergerak meninggalkan mereka. Menit-menit menghilang. Detik demi detik telah lenyap. Mereka hanya menikmati sebuah permainan terbuka. Saling mentertawakan, ngakak, terbahak-bahak. Mereka hanya melihat kekonyolan orang lain yang sedang tertawa bahagia. Sambil merasakan kekonyolan dirinya sendiri yang juga sedang tertawa bahagia. Setiap Manusia Bumi bebas saling mentertawakan, bahkan mentertawakan dirinya sendiri.


Permainan dalam ritual ini telah menggiring mereka untuk sadar dan ikhlas. Menerima keberadaan setiap diri sebagai manusia. Diri dari orang lain, maupun diri dari dirinya sendiri. Ritual ini juga telah mengajari mereka agar secara sadar menerima harkat kemanusiaannya. Sadar tentang mereka yang hidup sederajad sebagai manusia. Hidup dalam ketergantungan dan saling memerlukan. Perlu untuk bersatu. Dan kuncinya adalah saling menghormati, karena mencintai manusia dan kemanusian.

Sayangnya waktu terlalu cepat berlalu. Terdengar sebuah bunyi melengking dari sejenis alat yang ditiup oleh panitia. Pertanda perang harus berakhir. Tahun depan kita akan bertemu lagi.....


Sumber Foto:  www.tripadvisor.com
Kita, "manusia adalah titik-titik kecil yang memiliki peran besar, dan sangat penting dalam sebuah sistem Maha Besar". Sistem Alam Semesta. Kesadaran seperti ini mengalir ke dalam jiwa setiap orang yang pernah mengikuti ritual Perang Topat. Mereka memiliki keyakinan sangat kuat. Bahwa ritual ini sangat penting dilaksanakan setiap tahun.


Sumber Foto:   www.balidiscovery.com
Mereka masih enggan untuk berhenti, meskipun aba-aba akhir perang telah dikomandokan. Perasaan itu kemudian menjadi lega ketika mereka bersalaman untuk berpisah. Ada yang berpelukan dan saling meminta maaf. Ada juga yang kemudian mulai menjalin persahabatan. Beberapa pasang muda-mudi bahkan memulai hubungan cinta sejak akhir perang itu.

Sumber Foto:  www.trully.multiply.com
Matahari hanya menyisakan remang untuk mengiringi pikiran dan perasaan mereka. Perasaan yang sedang mekar seperti bunga waru di siang hari. Cahaya merah di kaki langit sedang beranjak menuju gelap. Matahari sudah tenggelam. Ia telah pergi ke belahan yang lain dari bumi ini. Untuk menyantuni kebutuhan saudara kami di tanah yang lain. Seperti akan ia lakukan untuk kami ketika kembali esok pagi. Bunga waru berserakan di tiap sudut Pulau Lombok. Di pekarangan rumah, di tepi jalan, di pantai, di hutan dan ladang.




Detik ini kami sedang melangkah pulang dengan begitu bahagia. Kami telah saling menyapa, saling mengenal dan saling mencintai. Kami menjadi sangat kuat dan rukun. Dan akan selalu semakin kuat dan rukun. Kami telah bersatu untuk segala persembahan. Kami telah merenung bersama, berdo’a bersama, meski dengan cara yang berbeda-beda. Adalah untuk memuja dan memuji pada Tuhan kita semua. Karena kami telah diberi segala kebaikan. Untuk hari-hari yang lalu, dan hari ini. Bahkan segala kebaikan telah tersedia buat memenuhi kebutuhan kami di masa depan. Sudah pasti. Karena DIA Maha Kaya dan Maha Memberi Kekayaan. Al-Ghaniy, . . . . Al-Mughniy. 





Daftar website atau blog yang dibaca untuk tulisan ini:

2 komentar:

  1. Tulisan yang sangat menarik.
    Pertanyaannya, apakah sebuah proses mensyukuri nikmat Alloh itu perlu ditunjukkan dengan cara saling melempar makanan? Mengapa bukan melalui proses komtemplasi atau cara lainnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk pertanyaan yang sangat mendasar. Kebetulan untuk kasus ini, blogger menulis fakta yang terjadi. Fakta ini juga sudah membudaya dilakukan sekali setahun, entah sejak kapan, blogger tidak punya data sejarahnya.

      Karena kegiatan ini sudah menjadi budaya milik masyarakat luas, terutama di Lombok jadi blogger tidak berani mewakilkan diri atas nama masyarakat untuk menjawab pertanyaan ini. Apalagi tentang cara bersyukur yg secara teknis bisa berbeda menurut agama masing2. Sedangkan Pujawali menjadi kegiatan lintas agama.

      Hapus