Selasa, 19 Februari 2013

Lombok–mencintai warisan “kemesraan toleransi Hindu–Islam”


Sumber: catatansikudaliar.blogspot.com
“Aku, . . . . . . BALOK”. Demikian ucap gadis itu sambil menabur secercah senyum indah dari bibirnya. Saat itu pertama kali aku mengenalnya di sebuah tempat suci bagi ummat Hindu. Pura Milu Kelepuk, bagian dari lingkungan bekas istana Raja yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.


Kami bersalaman. Tangannya begitu lembut. Sikapnya begitu santun. Segera kubuang pikiran-pikiran kelelakianku yang mulai menjalar mengalir di otakku. Karena saat itu, aku ingin memperoleh cerita, mendapatkan pengetahuan dari gadis itu. Yaitu tentang lokasi bersejarah yang saat itu baru pertama kali kudatangi untuk belajar tentang Lombok. Aku berusaha berkonsentrasi mendengarkan setiap kalimatnya. Diucapkannya mengalir dalam bahasa sasak halus yang begitu kental, bahasa bagi para ningrat Lombok.



Sumber: Adhe, personal document
Cukup hanya dengan merenung sejenak, aku langsung paham maksud gadis itu. Kata “BALOK” adalah akronim dari dua kata: “Bali dan Lombok”. Menjadi sebuah kata hasil ciptaan anak-anak muda Lombok pada milenium ini. Dengan kata BALOK, gadis itu sebenarnya sedang menjelaskan kepadaku bahwa dirinya adalah gadis Bali, suku Bali, beragama Hindu, tapi asli orang Lombok. Artinya, ia lahir di Lombok, dibesarkan di Lombok, bahkan nenek moyangnya pun juga lahir dan dibesarkan di Lombok.


Entah,... sudah berapa keturunan leluhur mereka berada di Lombok. Secara turun-temurun mereka menjadi bagian utama, menjadi sangat penting, dan tak dapat dilepaskan dari tekstur maupun struktur masyarakat Lombok. Mereka datang dari Pulau Bali sekitar tahun 1600-an pada saat migrasi masyarakat petani dari wilayah Kerajaan Karangasem Bali. Berikutnya, keberhasilan ekspansi Kerajaan Karangasem Bali pada tahun 1672 Masehi, kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kerajaan Karangasem Lombok. Sejak saat itu pula mereka mulai menjadi penduduk asli Lombok di bawah naungan Kerajaan Karangasem Lombok  yang mulai berkuasa.

Sumber: Adhe, personal document

Lebih dari sekadar untuk menjelaskan asal-usul sejarah dan keturunan. Kata BALOK bagi muda-mudi dan masyarakat Bali-Lombok saat ini, sudah dapat menggambarkan Keluhuran dan Keteguhan Jiwa kebersamaan mereka. Bahwa di Pulau Lombok ini mereka telah lama melebur menjadi satu bersama suku Sasak (suku asli di Pulau Lombok) dan suku-suku lain yang menghuni Pulau Lombok. Mereka tidak pernah membedakan apakah suku-suku lain itu datang sebelum atau sesudah mereka. Tapi upaya telah mereka lakukan dalam rentang waktu begitu panjang. Tujuan yang diinginkan juga telah lama dicapai, bahwa mereka melebur dengan memiliki cinta, keberanian, kejujuran dan keikhlasan dalam praktek kehidupan sosial masyarakat yang mengalir dengan nilai-nilai yang dihormati bersama.


Sumber: goexperience.gonla.com

Masyarakat suku Bali dan suku Sasak sejak zaman Kerajaan Karangasem Lombok sudah hidup mesra berdampingan, saling menghormati, saling mendukung, dan saling mencintai. Kemesraan ini dimulai dan tumbuh dengan subur ketika Pemerintahan Kerajaan Karangasem Lombok  menunjukkan kearifan sikap dan tindakan pada masa awal pemerintahannya. 


Sumber: Adhe, personal document

Kerajaan yang masyarakat dan pemerintahannya menganut Agama Hindu itu mengijinkan dan bahkan mendukung penyebaran Agama Islam yang sedang dilakukan oleh para Kyai dari Jawa, Makassar, Cina, dan para Gujarat dari tanah Arab. Para penyebar Agama Islam yang sedang berjuang saat itu sering datang untuk bertukar pikiran dengan parapihak di dalam lingkungan elite kerajaan. Mereka bersahabat dan saling membantu untuk keperluan masing-masing pihak. 


Sumber: flickr.com
Sikap santun kemanusiaan dan toleransi mesra ini mereka tunjukkan dalam sejarah untuk mengajari masyarakat saat itu, dan secara turun-temurun untuk mendidik generasi kita saat ini. Sebagai contoh, sejarah proses pembangunan salah satu istana peninggalan Kerajaan Karangasem Lombok telah membuktikan tingginya nilai toleransi yang luar biasa. Ketika membangun Istana Taman Air Mayura pada masa pemerintahan Raja A.A. Ngurah pada tahun 1744 Masehi, beliau menunjukkan sikap toleransi itu padaa semua pihak. Konon saat itu, lokasi pembangunan istana masih berupa hutan belantara yang bernama Hutan Kelepuk, dihuni oleh sangat banyak ular berbisa. Karena gangguan ular berbisa ini, sehingga proses pelaksanaan pembangunan terhambat total.


Sumber: Adhe, personal document

Sumber: Adhe, personal document
Untuk mengusir ular-ular berbisa itu, selain menggunakan cara-cara yang diyakini oleh masyarakat beragama Hindu, pihak kerajaan juga meminta partisipasi dari para tokoh kalangan Islam di Lombok, bahkan di Jawa dan di Makassar.  Solusi paling tepat kemudian disumbangkan oleh raja dari Kerajaan Islam Makassar. Pihak Kerajaan Islam ini mengirimkan sejumlah Burung Merak untuk memakan, menakuti dan mengusir ular-ular berbisa. Cara ini memberikan hasil luar biasa, yaitu pelaksanaan pembangunan istana tidak terganggu lagi dan istana selesai dibangun sesuai rencana. Hal ini membawa dampak sangat positif, kedua pihak (Hindu dan Islam) menjadi semakin dekat dalam hubungan kemanusian, saling menghormati dan saling mendukung.


Sumber: Adhe, personal document
Pihak Kerajaan Karangasem Lombok dan masyarakatnya ingin megabadikan dan mengenang keberhasilan mengusir ular-ular berbisa dan keberhasilan pembangunan istana saat itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengukir peristiwa ini dalam sejarah Lombok. Nama istana tersebut diambil dari nama Burung Merak yang merupakan sumbangsih tak dapat dilupakan dari Kerajaan Islam. Nama Burug Merak dalam bahasa Sanskerta adalah Mayora. Maka istana kerajaan ini diberi nama Istana Mayora. Namun karena pengaruh lafal bunyi bahasa masyarakat Lombok yang sebagian besar terdiri dari suku Sasak dan Bali, kemudian berubah dalam tulisan menjadi Mayura, dan diucapkan dengan lafal Mayure.


Sumber: Adhe, personal document
Pihak kerajaan pemilik istana dan masyarakatnya masih belum puas dengan penghargaan yang diberikan kepada masyarakat Islam saat itu. Untuk mengungkap keindahan kebersamaan dan tingginya toleransi yang begitu sempurna antara masyarakat Hindu dan Islam, belum dianggap cukup hanya dengan mengabadikan kata Mayora yang berarti Burung Merak menjadi nama istana. Tindakan saling mendukung, dan harmonisnya interaksi sosial antara masyarakat Hindu dan Islam dalam berbagai hal sejak masa awal kerajaan itu, bahkan lebih jauh lagi diabadikan menjadi ornamen Bale Kambang.  Yaitu bangunan di atas air yang  merupakan salah satu bagian dari istana tersebut.  Betapa ornamen Bale Kambang yang syarat dengan pesan itu, sampai saat ini masih kita temukan dan dapat menjadi inspirasi pendidikan bagi kita saat ini dan bagi generasi masa depan di belakang kita.


Sumber: catatansikudaliar.blogspot.com
Bale Kambang adalah sebuah bangunan di atas kolam yang pada masa kerajaan berfungsi sebagai tempat pertemuan internal kerajaan, tempat menerima tamu dan tempat pengadilan. Ornamennya yang terdiri dari patung-patung yang mengelilingi bangunan tersebut tidak hanya patung bernuansa Hindu. Tetapi terdapat beberapa patung para tokoh penyebar Agama Islam di wilayah Pulau Lombok. Beberapa kalangan meyakini patung-patung tersebut terdiri dari patung salah satu Wali dari Jawa dan Makassar, dan tokoh penyebar Agama Islam dari Arab dan Cina.  Mereka itulah yang diyakini melakukan menyebarkan Agama Islam di Pulau Lombok dengan dukungan penuh dari pihak Kerajaan Karangasem Lombok. Para tokoh dan peristiwa penyebaran Agama Islam diabadikan dalam Istana Kerajaan Hindu yang sedang berkuasa. Betapa ini sebuah dukungan, toleransi dan penghargaan luar biasa yang tak dapat dilupakan.


Tidakkah ini dapat menjadi bukti sejarah dan tuntunan bagi kita yang hidup saat ini? Bahwa mereka yang hidup di masa lalu telah mengajarkan pada kita semua, betapa di masa lalu, di Pulau Lombok ini, antara Hindu dan Islam telah hidup mesra berdampingan. Pulau Lombok telah menjadi sebuah ruang indah yang menyajikan kemesraan toleransi antara ummat Hindu dan Islam.


Sumber: travelingtolombok.blogspot.com
Dalam hitunagan kasar, keindahan hubungan kemanusiaan ini sudah berlangsung selama 312 tahun sejak Tahun 1700 Masehi sampai saat ini, dan akan terus kita suburkan bersama. Bukan sebatas dalam fakta sejarah yang masih terbukti. Bukan sekadar ditemukan dalam buku-buku tersimpan di perpustakaan resmi. Ia bukan pula hanya berupa jargon-jargon indah yang baru mulai digunakan untuk belajar memotivasi psikologi massa untuk bersatu dan damai demi kemanusiaan. Tetapi sudah menjadi fakta dalam kehidupan sosial masyarakat Lombok saat ini. Ijinkan penulis untuk sekadar mengungkap sebuah fakta lain yang selalu dilakukan oleh masyarakat Hindu dan Muslim setempat di lokai yang lain, yaitu di Pura Lingsar. Sebuah Pura terbesar ummat Hindu di Lombok.


Sumber: travelingtolombok.blogspot.com
Pura Lingsar adalah tempat beribadah ummat dari dua agama yang berbeda. Pura ini dibangun di dataran tinggi di belakang pemukiman muslim pada tahun 1714 Masehi. Sejak selesai pembangunannya, pura ini sudah mulai digunakan secara bersama-sama sebagai tempat beribadah oleh ummat beragama Hindu dan Islam sesuai keyakinan dan cara mereka masing-masing. Untuk memupuk keharmonisan dan menggambarkan kebersamaan yang begitu indah antara ummat Hindu dan Islam di daerah tersebut, pura ini dibangun kembali secara bersama-sama oleh kedua pihak pada tahun 1878 Masehi. Sampai saat ini, bagi ummat Hindu dan Islam setempat, pura ini menjadi ruang indah tempat kemesraan toleransi untuk beribadah menurut keyakinan dan cara masing-masing. Selain itu, di dalam lingkungan Pura Lingsar juga telah dibangun Masjid yang digunakan untuk sholat oleh ummat Islam yang ingin melakukannya di Masjid. Jadi keberadaan Masjid di lingkungan Pura Lingsar ini memiliki keutamaan yang setara dengan Pura tanpa mengurangi semangat keidahan toleransi dan semangat keindahan kebersamaan yang telah terbangun selama berabad-abad.


Sumber: ririctours.com
Sungguh mereka di masa lalu masih berada bersama kami, masyarakat Pulau Lombok saat ini. Mereka pernah singgah di Bumi Sasak dan terasa masih hidup untuk mengajari kami melalui budaya toleransi yang menjadi peninggalannya. Adalah untuk menjunjung toleransi, mencintai manusia dan kemanusiaan. Jauh sebelum kata TOLERANSI itu menjadi jargon yang makin dibanggakan dalam pidato, ceramah, kampanye dan dalam buku-buku mahal yang tingkat kemahalannya juga semakin menjadi kebanggaan saat ini.


Sumber: nusatenggaraindonesia.com
Tidak terasa pelajaranku hari itu harus berakhir. Cahaya merah senja mulai menerpa, merubah warna biru air telaga Bale Kambang di Istana Taman Air Mayura. Mentari di ufuk barat hampir lenyap, tenggelam meninggalkan kami berdua. Sisa cahaya mentari hanya mampu menembus celah-celah pohon sekadar untuk membuat warna remang. Lampu taman belum dinyalakan. Tak ada lagi petugas. Dan pasti tak ada lagi harapan untuk bisa lebih lama berdua dengan gadis itu, meski sekadar untuk berbincang, sebatas untuk belajar.


Sumber: nusatenggaraindonesia.com
Aku enggan untuk beranjak meninggalkan tempat itu. Tapi harus kulakukan, karena waktu kunjungan sudah selesai. Aku menatap gadis itu, tepat ketika di otakku melintas pikiran, dan dibenakku tersimpan harapan, untuk dapat bertemu lagi. Kusampaikan terima kasih untuk segala kebaikan yang kuterima hari ini. Aku pamit dengan menjabat tangan lembut gadis itu, seperti kulakukan ketika baru bertemu tadi siang. Ia berbisik dengan suara begitu tulus di telingaku, ketika aku sempat memeluknya untuk mengakhiri pertemuan indah ini: 
Kami suku Bali-Lombok sungguh beruntung. Menerima warisan budaya begitu Agung bagi kemanusiaan. Segenap cinta kami bagi masyarakat Pulau Lombok. Bagi seluruh manusia bumi tanpa ciri, seberkas cinta kami utuh tanpa beda. Bukan sekadar buat kepentingan kami, tapi adalah bagi Indonesia seutuhnya”.


Sumber bacaan untuk tulisan ini:

Andi, 2012. Catatan Diskusi dengan Guide Wisata Budaya Istana Taman Air Mayura (Andy), 22 Desember 2012. Cakranegara, Mataram – NTB.
www.nusatenggaraindonesia.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar