Jumat, 15 Maret 2013

Lombok – Dua Inspirasi Cintamu dari Bukit Pantai Pink *)



Ini kawasan hutan sekaroh. Tapi sudah berubah menjadi semak belukar”, kata Adhe dengan suara pelan. Aku memperhatikan bola matanya yang bening itu, berbinar menatap semak belukar di kaki bukit. Menyapu setiap sudut. Ia membelakangi pantai. Lalu bergerak beberapa langkah. Matanya tampak gelisah dan berusaha berkonsentrasi. Seperti mencari sebuah titik. Ia mencari dari arah mana suara lengking itu mengalun. Suara kokok sisa-sisa ayam hutan yang hampir punah. Suara indah yang saling menyahut. Saling menyambut, bersambung tak berujung.

Tidak adil, . . dan sungguh menyedihkan!!”, ucap gadis itu sambil membalikkan badan. Melangkah kembali ke arah pantai. Sangat jelas tampak wajahnya memerah karena kecewa. Kelihatan sangat kesal. Karena burung-burung itu tak bersuara lagi. Bahkan lari ketakutan. Bersembunyi di balik semak di kaki bukit. Karena dikejar tiga orang pemburu yang ingin menjadikan mereka mangsa. Pemuas kebutuhan perut manusia.

Adhe berusaha mengalihkan konsentrasinya dan mengubah topik perbincangan kami. Aku duduk di samping kanannya, sambil mendengarkan. Ia begitu fasih bercerita dengan runtun tentang tempat indah ini. Pantai Pink. Sebuah pantai unik di belahan tenggara Pulau Lombok. Pantai yang menjadi batas tepi Hutan Sekaroh yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Terletak berjejer dengan pantai Tanjung Ringgit. Jika kedua pantai ini tidak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah dunia, mungkin karena para penulis sejarah sengaja melupakannya atau mereka memang tidak mengerti tentang kedua pantai ini. Karena pada waktu peristiwa sejarah berlangsung di tempat ini, para sarjana sejarah itu memang belum lahir.
Sumber Foto:   http://wordandgeneralknowledge.blogspot.com
Para sepuh masyarakat Lombok Selatan sebagian besar paham. Mereka mendapat penjelasan dari orang tua mereka yang sudah dewasa pada masa Perang Dunia II. Pada masa penjajahan Jepang, Pantai Pink menjadi tempat sangat istimewa bagi bala tentara Jepang. Menjadi tempat pelepas penat. Tempat menikmati keindahan alam dan mereguk kebahagiaan di sela-sela pertaruhan nyawa melawan tentara Sekutu Amerika. Mereka dapat melesat berlari dengan cepat masuk ke Hutan Sekaroh, bila ada tanda-tanda ancaman dari musuh mereka saat itu. Tebing Tanjung Ringgit di sebelah barat Pantai Pink menjadi dinding pengaman bila terjadi serangan dari arah laut. Oleh karena itu mereka membangun Gua Tanjung Ringgit sebagai tempat persembunyian.

Pantai Pink, Tanjung Ringgit dan Hutan Sekaroh menjadi segitiga pengaman bagi tentara Jepang, sejak sekitar 3 tahun sebelum “the little boy” menghanguskan kota Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Mereka meninggalkan tempat ini dengan penuh kesedihan. Penuh duka, karena dua kota itu telah menjadi neraka yang menghanguskan sanak saudara mereka. Sangat tepat orang-orang tua di sekitar Kecamatan Jerowaru dan Keruak Lombok Timur memberi nama untuk pantai ini. Untuk mengenang sejarah pendudukan Jepang di daerah ini. Pantai ini disebut dengan nama Pantai Tangsi, yaitu pantai yang merupakan Barak Militer (Tangsi) pada masa penjajahan Jepang.
Sumber Foto:   http://twicsy.com
Adhe tersenyum mengakhiri penjelasannya tentang penjajahan Jepang. Karena hari ini adalah hari pertamanya di Lombok, setelah 11 hari berada di Jepang untuk mengikuti pelatihan. Ia tersenyum karena mengenang kondisi masyarakat Jepang saat ini. Mereka berubah total. Sedikitpun tidak menggambarkan diri mereka pernah menjadi bangsa penjajah. Mereka tumbuh menjadi bangsa yang ramah dan sopan. Mereka sangat hormat dan santun kepada orang Indonesia yang datang ke Jepang. Bahkan kepada bangsa manapun yang datang ke negara mereka.

Lihat arah setiap gejolak dari gelombang samudera itu”. Adhe memulai topik baru tentang Pantai Pink. Telunjuknya mengarah ke tebing karang dan batu cadas yang kokoh di pantai Tanjung Ringgit, sebelah Barat Pantai Pink. Adhe menjelaskan pekerjaan alam semesta. Sungguh alam begitu teliti, teratur sempurna dan jujur demi kepentingan dan kebahagiaan manusia. Gelombang itu bekerja sepanjang tahun. Hampir tidak ada detik jeda tanpa geka liar mereka di pantai Tanjung Ringgit untuk menciptakan keindahan di Pantai Pink.
Sumber Foto:   http://scenic-tourism.blogspot.com

Gelombang air yang ganas itu mulai dengan menghempaskan diri pada tebing cadas yang sangat kokoh di Tanjung Ringgit. Lalu memantulkan diri setelah kehabisan tenaga. Mengalir pelan ke arah timur dan utara. Menciptakan kecipak gelombang-gelombang kecil persis di depan garis-garis lurus sepanjang Pantai Pink. Gelombang-gelombang kecil ini memberi warna putih. Menghiasi air tenang berwarna biru tua seluas-seluasnya pada sepanjang pantai merah muda ini. Warna biru laut itu berpadu begitu indah dengan warna merah muda pasir pantai.
Sumber Foto:   http://twicsy.com
Di beberapa titik Pantai Pink terdapat tebing dan bukit-bukit kecil berderet. Mereka seperti sengaja diletakkan di atas tanah datar dan landai. Hamparan tanah coklat yang penuh belukar dan rumput liar sampai batas bibir pantai. Di ujung timur masih terdapat pohon-pohon berbatang keras dan berdaun rindang. Pepohonan ini yang selalu bekerja keras sepanjang hari. Menahan kencangnya angin pantai. Lalu membelokkannya agar berubah arah dengan gerak pelan. Menciptakan aliran angin lembut menerpa permukaan pasir merah muda. Membangun rasa teduh pada terik matahari siang. Betapa alam begitu cerdik menyulap dirinya sendiri. Seperti melawan fakta. Tapi juga untuk menciptakan fakta. Agar dapat hadir menjadi pengalaman manusia. Agar manusia dapat merasa sejuk di bawah teriknya panas.

Seperti halnya pantai-pantai Selatan lainnya di Indonesia. Pantai Pink tergolong pantai yang bersisi lebar. Hamparan pasir merah muda ini antara 10 – 30 meter dari batas air laut ke batas bibir pantai di tepi semak belukar atau hamparan rerumputan. Kawasan Hutan Sekaroh ini memiliki tanah yang masuk pada golongan tanah gramusol liat berwarna kuning (Yellow Clayey). Tanah yang sangat subur untuk pertanian. Keindahan warna kuning dan pink tidak hanya menjadi milik pasir dan tanah di sekitarnya. Karang dan cadas di sekitar daratan ini juga berwarna indah. Terutama kuning dan coklat. Sedangkan karang di dasar laut memiliki lebih banyak ragam warna-warni, tapi sebagian besar merah tua dan merah kekuningan. Warna-warna lain seperti hijau muda, putih, dan coklat tua hanya menjadi pelengkap penghias dasar laut.
Sumber Foto:   http://wisatapulaulombok.org
 Tapi keindahan Pantai Pink bukanlah segalanya di kawasan ini. Pantai Pink bukan satu-satunya magnet keindahan yang dimiliki oleh kawasan pantai yang disebut Pantai Tangsi. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat juga pantai berpasir putih. Tapi yang jauh lebih menarik, justru Pantai Tangsi ini memiliki sejumlah pantai indah tanpa pasir. Tanpa butir batu kecil dan butir karang dari sisa guguran dan pelapukan. Yaitu pantai bertebing indah dan terjal. Pantai ini menjadi sasaran para pencari ketenangan. Pencari inspirasi. Menikmati bentuk-bentuk tebing raksasa. Tebing dari batu cadas yang terukir tanpa pahat. Dibangun oleh alam dalam rencana ribuan tahun. Diciptakan oleh tetes air hujan, gesekan angin lembut, dan genangan air tenang. Air garam yang menggenang dan mengikis dengan cara apik, pelan dan lembut sepanjang zaman tanpa henti.
Sumber Foto:   http://puppytraveler.com
Warna biru yang sangat kuat. Tak mau kalah dengan birunya langit yang memayungi. Air garam berwana biru tua. Menggenangi tebing. Tenang tanpa riak gelombang. Bahkan lebih tenang dari air kolam yang kita bangun sendiri dengan rencana berbiaya mahal. Semilir angin mendatangkan rasa sejuk. Meski tanpa pohon tempat berteduh di bawah teriknya siang. Tebing-tebing itu cenderung berwarna abu. Di beberapa tempat terdapat bagian tebing berwarna kuning dan pucat. Di bawah beberapa bagian tebing terdapat ruang ciptaan erosi oleh air garam. Sehingga air laut mengalir menjorok ke bawah tebing membentuk teluk-teluk kecil ke arah daratan. Entah sejauh berapa meter ruang teluk dan genangan air itu tersimpan di bawah tebing ke arah darat. Menjadi tempat bersembunyi bagi ikan karang yang liar. Ketika ingin berlindung dari kejaran nelayan rakus yang selalu tak pernah puas dengan ikan jinak yang berlimpah.
Sumber Foto:   http://wisatapulaulombok.org
Bentuk tebing ini sangat beragam. Terpencar di sejumlah titik pantai kearah timur. Sampai sebuah titik paling terjal yang disebut Ujung Ketangga. Berada di telapak kaki kanan Pulau Lombok, pada titik paling selatan di kawasan tenggara. Beberapa tebing berdiri kokoh tegak lurus. Ada yang miring tapi terjal. Terdapat juga yang hanya berupa onggokan tanah yang seolah-olah sengaja diletakkan seperti tanpa alas tempat bertumpu. Ada yang mirip es krim raksasa sedang terapung. Dan masih terdapat lagi bentuk-bentuk lain yang terlalu banyak untuk disebutkan saat ini.
Sumber Foto:   lombokituindah@facebook.com
Apakah di sekitar ini ada penginapan?”, tanyaku menyela ketika Adhe begitu serius bercerita sambil menunjuk tempat-tempat yang disebutkan. Adhe hanya tersenyum. Nampaknya ia enggan menjawab. Lalu mengatakan: “Saat ini aku hanya ingin bercerita tentang keindahan dan karunia alam di Pantai Pink dan sekitarnya. Penginapan adalah hal penting tentang pariwisata”. Aku sedikit kecewa dengan jawaban Adhe. Hal ini menyebabkan aku makin penasaran dan langsung menambah pertanyaan: “Apakah kamu tidak suka dengan pariwisata?”. Adhe bukan langsung menjawab. Tapi malah tertawa terpingkal-pingkal. Ia rupanya membaca pikiranku yang begitu dangkal. Ditangkap dari pertanyaanku yang mungkin agak konyol menurut pikirannya.

Adhe keliahatan serius memikirkan jawaban yang paling tepat. Mungkin untuk tidak membuat aku tersinggung. Ia kelihatan merenung dan memalingkan wajah ke arah pantai. Lalu menjelaskan dengan sangat santun: “Pariwisata juga sangat penting. Kamu harus yakin sepenuhnya. Tentang pariwisata, sesungguhnya adalah tentang masa depan Lombok. Tapi apakah masyarakat dan pihak-pihak lain memerlukan aku untuk bicara saat ini? Mungkin lebih tepat nanti ketika ada pihak yang tertarik dan memerlukannya. Pada saat itu aku akan bicara untukmu. Tentang pariwisata”.

Jawaban Adhe membuat aku jadi mengerti, bahwa pariwisata sangat penting bagi Pulau Lombok. Bagi masyarakatnya. Tapi selama ini, Adhe berbicara tentang segala hal yang baik mengenai Lombok. Misalnya tentang potensi alam, budaya, sejarah, toleransi, dan sebagainya. Katanya, agar orang mengenal Lombok lebih baik dari yang mereka sudah kenal selama ini. Sedangkan pariwisata hanya salah satu tentang Lombok, meskipun sangat penting. Dan hal-hal yang sudah pernah dibicarakan selama ini, juga sebenarnya topik-topik yang dapat mendukung pariwisata pada saat dan dengan cara yang tepat. Karena semua itu dibutuhkan untuk membangun program dan mendukung kehidupan pariwisata. Misalnya tentang toleransi yang tidak dapat diabaikan untuk dapat menerima program pariwisata. Kemudian tentang budaya dan sejarah; keduanya dapat menjadi obyek sangat menarik dalam program pariwisata.

Adhe mengajakku berjalan ke arah belakang pantai, sambil melanjutkan ceritanya. Mungkin ia ingin menikmati angin di kaki bukit hijau itu. Hamparan rumput liar dan belukar tampak sangat luas, sejauh mata memandang. Aku hampir tidak percaya kalau daerah ini disebut kawasan hutan. Karena pohon besar sebagai ciri hutan sudah tidak ditemukan lagi. Tapi juga tidak tampak adanya pemukiman penduduk untuk dapat disebut sebagai kawasan kampung. Di beberapa tempat di balik bukit kelihatan adanya ladang pertanian jagung. Tapi sepi tak ada manusia satu orang pun.

Adhe menjelaskan, bahwa lokasi ini masuk dalam wilayah desa baru yang resmi dibentuk pada tahun 2012. Desa Sekaroh, sebuah nama untuk mengabadikan nama Hutan Sekaroh. Lokasi tempat kami berdiri sekitar 4 kilometer dari pusat Desa Sekaroh. Sekitar 9 kilometer dari pusat Kecamatan Jerowaru. Ada transportasi angkutan pedesaan, tapi tidak terlalu lancar dan tidak dapat diandalkan. Karena lokasi ini bukan lokasi pemukiman. Orang yang datang ke tampat ini biasanya menggunakan ojek, atau kendaraan pribadi.

Aku tidak terlalu tertarik dengan penjelasan detail tentang nama desa dan nama kecamatan. Apalagi tentang jarak-jarak tempat dan alat transportasi. Aku merasa geli, seperti sedang diajari mengisi formulir sensus penduduk. Aku coba mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan yang menurutku topiknya lebih penting: “Terus, tanah lapang seluas ini, sekarang siapa yang memiliki?” tanyaku sambil memotong pembicaraan.

Adhe terkejut dengan pertanyaan tentang kepemilikan tanah. Di suatu wilayah yang belum ada pemukiman dan masih berstatus Kawasan Hutan. Ia berusaha menjawab dengan tenang. Meski jawabannya sedikit teoritis dan merujuk pada aturan formal. Sambil mengangkat bahu, Adhe mengatakan dengan sangat bijak: “Di Indonesia, setiap lokasi yang bernama Kawasan Hutan, adalah milik Negara. Pemanfaatannya di bawah kontrol Pemerintah”. Langsung saja pikiran usilku menduga-duga. Adhe mengangkat bahu ketika mau menjawab, mungkin karena mengetahui ada hal yang aneh. Atau paling sedikit pernah mendengar sesuatu yang janggal. Konon, di daerah ini ada tanah yang diakui sebagai milik pribadi. Ada juga tanah yang pernah diperjual-belikan secara pribadi oleh orang-orang tertentu. Kasus semacam ini tentu saja bukan di bawah kontrol Pemerintah. Atau tidak diketahui oleh Pemerintah. Istilah yang populer di kalangan para calo tanah: kasus transaksi di bawah tangan.

Aku berusaha untuk melupakan kasus-kasus tangan kotor yang merugikan negara itu. Meski sempat mengganggu pikiranku. Lebih baik aku segera memilih topik pembicaraan yang lebih berarti. “Lalu bagaimana dengan gua Tanjung Ringgit? Tadi pagi kamu belum menjelaskan secara detail tentang gua itu”, tanyaku lagi tentang topik yang lain. Adhe memegang tanganku. Kami kembali berjalan ke arah pantai. Hari sudah senja. Cahaya merah mentari menerpa laut dan pantai. Menyebabkan warna pink semakin kuat pada setiap sudut di seluruh ruang pantai. Di bukit-bukit indah itu. Bahkan untuk setiap butir pasir.

Adhe menjawab pertanyaanku sambil mengulas senyum: “Kamu akan segera mengetahui. Aku akan bercerita lagi tentang dua hal. Pertama tentang legenda Putri Nyale. Yang kedua tentang Tanjung Ringgit itu. Goreskan keduanya menjadi artikel berikutnya dalam blogmu. Karena pilihanmu untuk berbagi dengan setiap orang. Tentang Lombok. Dan kita akan bertemu untuk hal yang lebih besar pada Juni mendatang.” Adhe mengakhiri ceritanya ketika senja indah menjemput malam. Sinar matahari telah redup. Tembaga merah itu sudah siap menukik lubang menuju peraduannya. Terima kasih Adhe. Artikel ini kutulis untukmu. Untuk kehadiranmu hari ini di Pantai Pink. Di tanah Lombok ini.   


*) artikel ini ditulis untuk Adhe yang pada 12 Maret 2013 tiba di Pantai Pink, setelah 11 hari belajar di Jepang.

2 komentar:

  1. Sungguh indah....
    tapi blum sempet ksana :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. +nienk ridwan. Terima kasih untuk komennya. Pada saat yang tepat, Anda pasti akan punya kesempatan datang ke sana. Dan pada saat itu itu nanti, Anda akan mengatakan: "Karena aku menginginkannya, ternyata aku jadi memiliki kesempatan datang ke tempat indah ini."

      Hapus