Senin, 15 April 2013

Lombok – Putri Mandalika – Cinta Perempuan Mulia Dalam Dilema Pahit



(Bagian 3)

Putri Mandalika tak sia-sia menyumbngkan karya-karya besar untuk kesejahteraan rakyatnya. Ternyata ia sangat dicintai oleh rakyatnya. Kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Dan merekapun ternyata tidak tinggal diam atas penderitaan putri cantik ini. Mereka juga berbuat sampai pada tingkat yang pantas atas cintanya pada putri panutan yang menjadi harapan masa depan bangsanya. Tanpa ada komando dari sang raja. Tanpa dipengaruhi oleh para pejabat keraton, masyarakat Kerajaan Tonjang Beru bagitu antusias memberi dukungan sepenuhnya pada sang putri dan raja mereka.

Sumber Foto:   http://bl4ckdr49on.deviantart.com
Di kampung masing-masing, mereka melakukan musyawarah untuk mempersiapkan dukungan dan pembelaan yang dapat diberikan sekuat-kuatnya. Untuk menghadapi kerajaan manapun yang bakal menyerang. Di tingkat bawah, para Jero Penggugu, Jero Arah, Jero Keliang, Demang, Demung, Berak, Arya, dan para pemuda bekerja keras. Mereka mempersiapkan pasukan, perbekalan, persenjataan, strategi perang dan latihan-latihan tempur. Para ahli mantra dan ilmu-ilmu kesaktian juga sudah siap menggunakan kemampuan mereka. Puji sentulak, setumbal, pengabih, senotot, sapujagat, senjerit, dan ilmu-ilmu lain telah dikerahkan di setiap sudut dan setiap sisi wilayah kerajaan. Sehingga masyarakat Kerajaan Tonjang Beru sudah siap tempur bila ada komando dari raja dan para patih, atau bila tiba-tiba ada serangan yang tak terduga.

Sumber Foto:   http://cumilebay.com
Sementara itu, di kampung-kampung wilayah Kerajaan Tonjang Beru juga berkembang berbagai rumor dan wacana sebagai selingan pada saat mereka bermusyawarah atau ketika sedang latihan. Kadang juga rumor muncul di pasar, di sawah, di ladang, dan bahkan di setiap tempat mereka berkumpul untuk berbincang. Rumor yang paling santer menjadi lelucon, dilontarkan oleh para ahli nujum dan dukun. Mereka menganggap bahwa para pangeran itu telah menjadikan Putri Mandalika sebagai korban. Konon, Pangeran Datu Teruna telah menggunakan Senggeger Utusaning Allah. Sedangkan Pangeran Maliawang telah meniupkan Senggeger Jaring Sutra. Kedua macam senggeger ini terkenal sangat mempan dan sulit untuk dilawan atau ditolak. Sehingga menyebabkan Putri Mandalika jatuh cinta seperti tergila-gila.

Sumber Foto:   http://lorentzga.deviantart.com
Sebaliknya, para Demang, Berak, Pengemban Adat, Pemangku Krama, dan para Penasehat berpandangan bahwa Putri Mandalika telah dikalahkan secara keji dan tidak jantan. Karena kedua pangeran itu menggunaan ancaman yang sangat tidak terhormat, tidak bermoral dan lucu. Dianggap tidak pantas menjadi tindakan para ningrat. Seorang pangeran adalah seorang calon raja. Ancaman itu, dianggap tindakan yang hanya pantas dilakukan oleh masyarakat yang belum beradab. Seperti masyarakat Jahiliayah sebelum Agama dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Masyarakat yang hidup dengan hukum rimba. Seperti cara hidup binatang yang saling makan di hutan belantara. Masyarakat yang belum memiliki tatakrama, tata-titi, dan adat istiadat yang diajarkan oleh para guru bijak.

Sumber Foto:   http://visitlombokisland.com
Putri Mandalika tidak dapat mengobati dirinya. Tapi kelembutan hati dan kebeningan jiwanya telah menolongnya. Ia seorang putri yang terilhami, bahkan jauh sebelum masuk ke ruang smadi. Seluruh tindakannya, justru demi cintanya. Demi seberkas cinta yang dibela dengan pengorbanan yang paling tulus”, kada Adhe untuk menjelaskan kemuliaan cinta seorang putri yang bernama Mandalika itu. Tapi cinta macam apa, dan kemuliaan seperti apa yang dimaksud Adhe, belum jelas. Aku sama sekali belum mengerti. Aku masih menunggu penjelasannya. Karena aku tetap berpandangan, seorang Mandalika sedang tersiksa. Karena mabuk cinta dan mendapat ancaman. Menurutku tidak ada sesuatu yang mulia. Apalagi untuk disebut terilhami. Adhe menarik nafas panjang. Mungkin sedang merancang kalimat-kalimat yang bisa membuatku paham.
Sumber Foto:   http://wellisphotography.photoshelter.com
Sebelum masuk ruang smadi, Putri Mandalika menunggu beberapa hari. Ia akan masuk ruang smadi pada hari dan tanggal yang tepat menurut perhitungan dalam penanggalan sasak. Tata cara ini, sejak lama telah diajarkan oleh nenek moyang para ningrat di negeri Tonjang Beru. Waktu menunggu itu tak disia-siakan. Tapi digunakan untuk merenung, memuji Tuhan Sang Maha Agung. Dalam perenungan itulah, sang putri tanpa sengaja, tiba-tiba sudah berada dalam ruang pikiran yang begitu indah. Ruang pikiran yang oleh Adhe disebut terilhami. Ia mengalami situasi dengan hati yang begitu bening, dan jiwa yang begitu bersih. Sehingga pikirannya mengalir begitu jernih. Pikira-pikiran itu melintas menguraikan tentang cintanya. 
Sumber Foto:   http://infolombok.net
Pikiran itu mulai melintas dengan bersit-bersit sinyal lembut mengatakan; bahwa cinta adalah sesuatu yang suci. Kesuciannya tak dapat dibandingkan dengan apapun. Cinta adalah substansi yang tercipta untuk kebahagiaan. Cinta bukan untuk bertahan menjadi korban. Bukan pula untuk bertahan menjadi kolam yang membendung penderitaan dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu itu sesuatu yang semu, sehingga tak pantas menjadi tempat bagi cinta yang merupakan substansi suci. Karena sifatnya yang semu, maka ruang dan waktu bergerak, berubah, bahkan berakhir, atau lenyap. Tak pernah abadi. Sebaliknya, cinta adalah substansi yang abadi, bahan dasar dari segala sesuatu. Karena sifatnya abadi, maka cinta tidak pantas ditahan dan dibendung untuk dipaksa berada pada ruang dan waktu yang bersifat semu.
Sumber Foto:   http://flickr.com
Cinta juga tidak pantas bertahan bersama penderitaan, karena cinta tercipta untuk meraih kebahagiaan. Takkan pernah terjadi, penderitaan dan kebahagiaan bersanding dalam ruang dan waktu yang persis bersamaan. Mustahil. Karena mereka berlawanan, bahkan bermusuhan. Di sebuah ruang, pada waktu yang persis sama, manusia tidak akan pernah Merasa Menderita sekaligus Merasa Bahagia. Manusia berhak untuk memilih, Menderita atau Bahagia. Cinta dan kebahagaian itu begitu suci, sedang penderitaan terlalu jahat. Maka cinta harus dan pasti beranjak, melangkah. Pergi untuk meninggalkan kejahatan dan penderitaan. Tapi bukan dengan cara berhadapan melawan kejahatan. Kesucian dan kejahatan tak perlu berhadapan. Karena kebahagiaan dan penderitaan tak perlu dibenturkan, dan tak pantas untuk bersanding.

Sumber Foto:   lombokituindah@facebook.com
Hak mutlak sebarkas cinta adalah membahagiakan obyek yang disentuh dan disirami dengan cinta itu. Sebaliknya, seberkas cinta takkan pernah rela membuat obyeknya menderita. Putri Mandalika memiliki seberkas cinta yang wajar seperti manusia lainnya. Seperti juga manusia kebanyakan pada jamannya dan kapanpun. Karena cinta yang sesungguhnya selalu persis sama, pada bathin manusia manapun tempat tumbuhnya. Pada manusia kelas sosial seperti apapun tempatnya bercokol. Cinta tak pernah memilih kasta tempat bersemayam. Ia tidak pernah diajarkan ilmu pengetahuan untuk dapat membedakan Sudra atau Brahmana. Ia tak parnah mampu memilih tempat untuk tumbuh pada manusia Ningrat, Jajar Karang, ataupun Sepangan. Dimanapun ia tumbuh untuk menyentuh, cinta tetaplah sesuatu yang suci untuk meraih kebahagiaan. Cinta juga tak pernah tunduk pada ilmu pengetahuan. Cinta itu substansi suci yang memang sudah ada pada tempatnya. Tumbuh sendiri ketika saatnya untuk tumbuh. Menyentuh obyek yang memang harus disentuh dan disirami. Adalah untuk kebahagiaan cinta itu sendiri ketika berada menyentuh dan menyirami obyeknya.

Sumber Foto:   http://shutterstock.com
Putri Mandalika memiliki cinta yang telah menyentuh seluruh obyeknya. Meski sang putri tak pernah dengan sengaja menabur benih-benih cinta itu dengan naluri kemanusiannya. Tapi cinta itu dirasakan oleh sang putri dalam dirinya, begitu dalam, begitu kuat. Sebagai manusia, ia sering heran pada dirinya, kenapa cinta itu seperti tidak masuk akal. Adalah cinta yang begitu besar, begitu dalam, begitu kuat, meski tanpa upaya menabur benih dan memupuk pertumbuhannya. Maka ia tidak rela bertahan hidup dalam ruang dan waktu yang semu ini, jika obyek-obyek cintanya itu harus menjadi menderita. Jika obyek-obyek cintanya itu tak mampu dibahagiakan.

Sumber Foto:   http://woophy.com
Cinta yang dirasakan paling agung adalah ia mencintai dirinya sendiri. Maka ia tidak rela jika dirinya menderita karena bersuami dua orang pangeran sekaligus dalam waktu yang sama. Penderitaan itu akan segera muncul, karena dirinya akan berada pada tong sampah gunjingan rakyatnya sendiri. Sebelum terlanjur terjadi, ia sudah dapat merasakan penderitaan itu. Karena ia akan menjadi seorang permaisuri dari dua raja yang seluruh rakyatnya sibuk bergunjing, membuat lelucon, dan menciptakan drama-drama kolosal tentang kerendahan moral permaisuri raja mereka.

Sang putri sungguh mencintai Ayah dan Bundanya. Maka sang putri tidak rela jika sepasang raja dan ratu itu menderita karena kehilangan tahtanya akibat perang. Ia begitu ngeri membayangkan keraton mereka diserang, dan tahta mereka runtuh. Lalu terkapar pada sisa-sisa usia masa tuanya. Menjadi manusia yang kehilangan haknya sebagai raja dan ratu. Kemudian hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Betapa menderitanya.
Sumber Foto:   http://flickr.com

Putri Mandalika tanpa upaya yang sengaja dilakukan, juga telah mencintai seluruh rakyatnya. Sehingga dirinyapun dicintai dan menjadi panutan bagi rakyatnya. Maka ia tidak rela jika mereka harus menderita karena terlibat dalam perang berdarah. Hanya karena membela dirinya sebagai putri seorang raja yang berkuasa. Sang putri selalu menangis setiap membayagkan tetes-tetes darah dari tubuh-tubuh yang terluka. Harta benda mereka dirampas. Anak-anak mereka menangis karena lapar dalam kehidupan tanpa ayah. Perempuan dewasa kemudian menjadi janda tanpa harga diri. Bekerja membanting tulang untuk menyambung hidup dengan sesuap nasi. Sementara di negara sebelah, perempuan hidup makmur dan bahagia. Sungguh menyakitkan.

Sumber Foto:   http://wikitravel.org
Sang putri mengaku pada dirinya sendiri, sungguh ia jatuh cinta pada kedua pangeran itu. Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang. Maka sang putri tidak rela jika salah satu maupun kedua menderita. Jika lamaran kedua pangeran itu diterima, maka mereka akan berhadapan dalam sebuah peperangan. Perang berdarah untuk berebut hak dan kepantasan. Menentukan siapa yang sesugguhnya lebih berhak atau lebih patas bersanding dengan Putri Mandalika di atas pelaminan dan menjadi sepasang pemimpin rakyat di negaranya masing-masing. Peperangan akan melibatkan rakyat, mengorbankan anak-anak, perempuan dan harta benda yang tak ternilai harganya.


Tapi bila lamaran salah satu pangeran diterima, peperangan yang persis sama juga akan terjadi. Karena pihak yang ditolak akan kecewa dan merasa direndahkan. Sementara pihak yang diterima akan menjadi terlalu bahagia di atas penderitaan pahit pihak yang lain. Sebaliknya, jika keduanya ditolak, maka mereka akan kompak untuk menyerang dan berperang melawan rakyat Kerajaan Tonjang Beru. Hal ini juga menciptakan penderitaan rakyat yang dicintainya. Penderitaan bagi ayah dan bunda yang dicintainya. Bahkan penderitaan juga bagi kedua pangeran yang juga dicintainya. Tidak mustahil bahwa para pangeran itu dapat terbunuh dalam perang.

Sumber Foto:   http://wellisphotography.photoshelter.com
Putri Mandalika juga mengaku pada dirinya sendiri, bahwa sebenarnya sang putri juga mencintai 4 pangeran lain yang pernah ditolak ketika melamarnya. Bahkan dengan pengakuan diri yang paling jujur, sang putri juga mencintai seluruh rakyat dari 6 kerajaan tetangganya. Persis sebagaimana ia mencintai rakyatnya sendiri. Mencintai seluruh manusia. Mencintai kemanusiaan. Mencintai alam semesta. Dan mencintai dirinya sendiri, sebagai tempat bersemayam cintanya itu sendiri. Oleh karena itu, ia tidak rela jika 4 pangeran itu menderita. Ia begitu sedih jika membanyangkan rakyat mereka menderita karena terlibat perang. Sebuah pengorbanan besar demi membela negara mereka masing-masing, karena diserang. Hanya gara-gara pangerannya dapat menyunting seorang perempuan idamannya. Untuk menjadikannya istri yang merupakan kebutuhan pribadi sang pangeran itu masing-masing.

Sumber Foto:   http://jakpost.travel
Sebuah pelajaran yang luar biasa bagi kita semua, bagi para pemimpin kita. Diterima sebagai laduni, sebagai rangkaian firasat dalam perenungan. Oleh seorang intelektual muda pada jaman tanpa pendidikan formal yang berjenjang. Menurutku ia pantas untuk disebut sebagai Guru Besar”. Adhe melanjutkan ceritanya. Aku spontan memegang tangan Adhe ketika ia hampir terpeleset karena menghindari ombak yang akan membasahi kaos kakinya. Adhe mengucap syukur, dan langsung tertawa. Karena tidak sampai terjatuh, meski kaos kaki tebal itu akhirnya basah juga. Air memang lebih cepat bergerak ketimbang loncatan Adhe untuk menghindar. Kami tiba di bibir pantai Tanjung Ann, ketika Adhe mengajak istirahat untuk mengganti kaos kaki. Gara-gara sandal tipisnya menjadi terasa makin berat karena air garam laut yang membasahi kaos kakinya.

Sumber Foto:   http://fotodedi.wordpress.com
Ombak tidak terlalu besar, suasana pantai sangat cerah. Indah sekali. Ketika aku menikmati keindahan pantai itu, tiba-tiba Adhe melanjutkan ceritanya: “sang putri itu mencintai seluruh manusia. Maka ia ingin membahagiakan seluruh manusia, demi cintanya bagi kemanusian. Ia memandang cinta lebih universal sebagai substansi.” Aku berusaha mengangguk beberapa kali sambil memandangi wajah Adhe. Maksudku, supaya dikira memberi perhatian dan dianggap mengerti apa yang sedang diceritakannya. Padahal sebenarnya aku agak terganggu dan pikiranku memprotes. Aku belum puas menatap wajah pantai ini ketika dipotong oleh ceritanya. Hanya beberapa detik perasaanku dapat menikmati birunya air laut dan tebing indah itu. Ada sampan-sampan kecil yang sedang dikendalikan oleh anak-anak nelayan yang bekerja keras, meski masih di bawah usia kerja. Tapi Adhe terus mengalirkan ceritanya dengan penuh semangat. Seperti tak mau peduli dengan perasaanku.


Puntri Mandalika belum menemukan caranya. Bagaimana dapat membahagiakan setiap manusia yang dicintainya. Seluruh manusia. Itulah hal yang ingin dicari jawabannya dalam smadi. Sungguh ia seorang perempuan mulia.” Kali ini Adhe kelihatan gelisah. Ia terbawa emosi oleh ceritanya sendiri. Aku membimbingnya kearah darat. Adhe melepaskan tangis yang tak mampu ditahan. Mungkin naluri perempuannya sedang mengalir. Tentang seorang perempuan mulia dalam dilema cinta. Seorang perempuan yang terus berjuang. Bergolak dalam bathinnya sendiri. Untuk dapat beranjak meninggalkan kekerasan. Menempuh cara paling bijak dalam menyelesaikan masalah besar. Masalah yang hanya tinggal menunggu waktu untuk menjadi nyata, membawa kehancuran kemanusiaan. Kami duduk di bawah pohon waru di bibir pantai. Bernaung mencari keteduhan pada bayang daun yang rindang. Air laut begitu tenang. Biru tanpa ombak. Kubiarkan Adhe menenangkan diri. Meniru ketenangan air laut di depannya. Agar ia dapat melanjutkan ceritanya.

Sumber Foto:   http://lombok.panduanwisata.com
Ia masih sempat merenung pada hari terakhir penantiannya untuk masuk ke ruang smadi. Pada hari terakhir itu masih ada kegelisahan yang tersisa dalam pikirannya. Ia terus berjuang melalui perenungannya, untuk dapat melihat hanya hal-hal indah di benaknya. Tapi pikirannya belum sesempurna benaknya. Masih ada kabut hitam yang melintas, meski hanya sesekali untuk mengganggu benak.” Adhe masih mampu melanjutkan ceritanya, meski dengan suara parau. Karena masih sedih. Hari sudah sore. Air laut selatan mulai surut meninggalkan pantai. Hanya ombak-ombak kecil menghempas cukup jauh dari pantai, hampir tanpa suara. Binatang-binatang kecil mirip kepiting berlarian pada bagian daratan yang baru saja ditinggalkan air karena surut. Mereka keluar masuk pada lubang-luabang batu cadas pantai. Seperti bercanda, sambil main kejar-kejaran dengan anak cucu mereka. Mungkin juga dengan para tetangganya.

Sumber Foto:   Adhe, Jakarta. Dokumen Pribadi
Sore itu, Putri Mandalika sudah siap untuk masuk ruang smadi kerajaan. Sebuah ruang khusus yang memang dirancang untuk keperluan anggota keluarga raja. Bila melakukan smadi untuk mencari firasat dan memohon petunjuk pada Tuhan. Terutama bila sedang menghadapi masalah berat. Masalah yang tak mampu dipecahkan hanya dengan mengandalkan kecerdasan pikiran. Putri Mandalika telah mempersiapkan diri. Berusaha menjernihkan pikiran. Berkonsentrasi sepenuhnya. Mengikuti seluruh prosedur yang telah menjadi ketentuan keraton. Prosedur peninggalan nenek moyang dalam keluarga Kerajaan Tonjang Beru. Putri Mandalika mulai dengan melangkah pelan. Menuju pintu ruang smadi, persis ketika Bilal di Mesjid Keraton membaca Salawat untuk mengatar Adzan Maghrib. Ia melangkah pelan, wajahnya menatap lurus kearah pintu . . . . . . . . . . . ..............(Bersambung)



Catatan istilah bahasa sasak:
Senggeger (istilah dalam bahasa sasak)”: berasal dari kata Sing Geger, adalah sesuatu yang membuat seseorang menjadi geger, menjadi girang. Semacam guna-guna yang membuat lawan jenis jatuh cinta, bahkan bisa tergila-gila karena cinta.
Jero Penggugu, Jero Arah, Jero Keliang, Demang, Demung, Berak, Arya, dan semacamnya”: adalah nama-nama jabatan dalam struktur kempemimpinan pada suatu wilah kerajaan di Pulau Lombok. Jabatan semacam ini pada umumnya kemudian menjadi panggilan yang menggambarkan status sosial pemiliknya dalam masyarakat sasak pada masa lampau.
Puji sentulak, setumbal, pengabih, senotot, sapujagat, senjerit, dan lain-lain”: adalah nama-nama ilmu mantera yang biasanya digunakan sebagai do’a untuk melawan musuh atau menjaga serangan.


Sumber Foto


Daftar Referensi

Bahan diskusi dan bacaan sebelum menulis artikel ini bersumber dari:

Anonim, 1992 – 2012. Cerita tentang Putri Nyale dari mulut ke mulut, dari para tetua di Desa Jerowaru dan Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Mamiq Hartawang, 1992. Cerita dan diskusi secara langsung untuk belajar tentang legenda Putri Nyale. Mamiq Hartawang (Almarhum) adalah mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat Desa Jerowaru. Nenek moyang beliau berasal dari Gunung Pujut Lombok Tengah, konon sekitar tempat beradanya Kerajaan Tonjang Beru.

1 komentar: