Minggu, 07 April 2013

Lombok – Putri Mandalika – Cinta Perempuan Mulia Dalam Dilema Pahit



(Bagian 2)

Manusia secara fisik tetaplah manusia. Putri Mandalika juga seorang manusia. Ia punya hati, punya nurani, punya rasa. Bahkan ia juga punya rasa takut. Setenang apapun seorang manusia, selalu ada keraguan yang mengusik bathinnya bila jiwa dan raganya dalam posisi terancam. Putri Mandalika mulai merasa terganggu dengan ancaman yang tadi dilontarkan dengan tegas dan keras oleh para utusan dua pangeran yang melamar untuk menyuntingnya.
Sumber Foto:   http://wego.co.id
Setelah utusan dari kedua kerajaan yang meminang itu pulang, istana Kerajaan Tonjang Beru menjadi sepi. Lengang tanpa tamu. Suasana istana agak hening. Para petinggi kerajaan tak satupun bergeming. Demikian pula para prajurit penjaga istana yang sedang bertugas tampak semua diam. Setiap orang seperti sedang merenung mengikuti pikiran masing-masing. Udara terasa lebih dingin karena halaman istana dibasahi gerimis sore yang cukup panjang. Di luar istana nampak awan tebal bergerak dari arah pantai. Menggumpal menutup matahari. Lalu menghitam berarak menghalangi cahaya. Seperti ingin menyelimuti wilayah Kerajaan Tonjang Beru.
Sumber Foto:   http://encyclonesia.com

Sore itu agak aneh. Alam seperti memberi isyarat tanda tak beruntung. Aura istana kerajaan seperti kehilangan kharisma. Pupus, pucat, seperti mayit. Tak lagi berdarah”, kata Adhe menjelaskan. Suasana alam tiba-tiba berubah setelah kepergian sang tamu yang melamar sambil mengancam itu. Mulai dari awan putih menggumpal di atas laut selatan. Bergerak perlahan ke arah darat karena ditiup angin. Lalu terdiam seperti sengaja berhenti membentuk gumpalan makin menebal. Di bawah langit yang persis menyelimuti wilayah kerajaan ini. Kemudian berubah menjadi hitam, menghadang sinar menyentuh darat. Sementara di sekitar pantai keadaan masih cukup cerah. Sedikit aneh.
Sumber Foto:   http://subkioke.wordpress.com

Awan makin hitam, menggantung di atas daratan Tonjang Beru. Tapi tak ada hujan. Hanya gerimis lembut menyirami tanah dan pepohonan. Gerimis yang cukup panjang menyebabkan udara dingin tanpa tiupan angin. Sore itu pantai menjadi lengang. Para nelayan tak mampu bertahan di pantai untuk menunggu saat berangkat melaut. Karena rasa dingin menyengat kulit, meski tak ada angin. Mereka memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Menemui keluarga mereka. Pikiran mereka mulai khawatir. Karena dari pantai sangat nampak jelas, langit di atas kampung mereka tertutup awan pekat. Awan yang menggelantung makin tebal, makin pekat, tapi tak membawa hujan. Tak ada petir. Tak ada halilintar.
Sumber Foto:   Adhe, Dokumen Pribadi

Pantai benar-benar sepi dari tingkah laku dan usaha-usaha manusia saat itu. Hanya ada dua pohon bonsai alam. Pohon yang seperti sengaja dibentuk oleh iklim panas daerah kritis Lombok Selatan. Pohon yang dalam hidupnya selalu kecewa tak mampu menjadi besar seperti pohon yang lain. Persis seperti menggambarkan betapa kecewanya para Arya utusan dua kerajaan yang telah ditolak lamarannya oleh Putri Mandalika. Meski telah percaya diri, tegar, dan bahkan mengancam dengan perang, tapi tetap kecewa. Tetap merasa negara dan raja mereka tak dihargai. Pangeran mereka tak dicintai. Tak dianggap penting di bumi sasak ini. Kedua pohon itu terdiam, memelas, karena tak ada satupun manusia yang menyapa sambil berteduh di bawahnya. Bahkan anginpun tak meniup sama sekali.
Sumber Foto:   http://d3v1l0men.deviantart.com

Masyarakat di wilayah Kerajaan Tonjang Beru pada sore itu belum ada yang mengetahui kejadian tadi siang di keraton kerajaan. Mereka saat itu hanya berpikir tentang keadaan alam yang sedikit aneh. Awan setebal dan hitam sepekat itu tak membawa hujan, tak menyebabkan adanya halilintar dan petir. Mereka berkeyakinan, alam seperti itu sebagai pertanda akan terjadi sesuatu yang buruk. Sehinggga sebagian besar mereka hanya berjaga-jaga di dalam rumah.

Ada juga di anatara mereka yang berjaga-jaga di luar rumah. Di berugak kampung (Pos Kamling) pada perpotongan lorong-lorong, bahkan ada yang keliling kampung. Hal ini terutama dilakukan oleh para Pepadu (orang-orang pemberani). Biasanya mereka mengajak para pemuda untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang dapat melanda kampung mereka. Tapi ada juga yang seperti mengungsi. Beberapa keluarga yang tinggal di daerah perbukitan, sebagian besar mengajak keluarga mereka turun meninggalkan kampungnya, mencari daratan yang cukup datar, berjaga-jaga sampai keadaan cuaca normal. Mereka terutama membawa anak-anak dan perempuan, agar terhindar dari peristiwa buruk yang mungkin akan menimpa.
Sumber Foto:   Adhe, Dokumen Pribadi

Pada sore hari keadaan menjadi lebih baik. Matahari mulai nampak. Awan pantai berubah warna menjadi merah tembaga, karena sinar matahari dapat menembus awan setelah gerimis reda. Turunnya gerimis cukup panjang, menyebabkan awan tidak lagi hitam menggumpal sepekat beberapa jam sebelumnya. Sang Putri Mandalika berbaring di tempat tidurnya. Hati mulai gundah. Pikirannya melayang. Mengembara tanpa arah yang jelas, entah kemana. Liar tak berujung. Kalut tak mampu dikendalikan. Ia makin bingung berhadapan dengan pilihan-pilihan yang semuanya beresiko. Tapi sekuatnya, semampunya, ia selalu berusaha menenangkan diri. Belajar untuk tidak membenci para pangeran itu. Belajar untuk tidak dendam pada para utusan yang mengancam itu. Berlatih untuk mampu hidup tanpa marah. Karena marah pasti lebih menyakitkan lagi. Pasti lebih pahit lagi. Lebih beresiko.
Sumber Foto:   http://lombok.panduanwisata.com

Bila salah satu diterima, maka yang lain akan kecewa dan marah, kemudian menyerang negeri ini sebagaimana ancaman yang telah dinyatakan. Jika keduanya ditolak, maka mereka akan bersatu untuk menyerang, sehingga resiko akan jauh lebih besar lagi. Sebaliknya, sang putri tidak mungkin untuk berani menerima lamaran kedua pangeran sekaligus. Tidak masuk akal untuk menjadi isteri dua laki-laki sekaligus dalam waktu yang sama. Karena mereka akan berkelahi, dan Putri Mandalika akan menjadi sasaran murka kedua suaminya dan seluruh rakyatnya. Selain itu, martabat kemanusian sang putri akan hancur, bila bersuami dua orang. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang dapat menerima kenyataan satu perempuan dengan dua suami. Tong sampah akan menjadi tempat sangat menyakitan bagi sang putri dalam pergunjingan rakyatnya sendiri. Dan dalam pergaulan masyarakat Lombok di semua kerajaan yang ada.
Sumber Foto:   http://lombok.panduanwisata.com

Beberapa saat menjelang adzan maghrib tiba, sang putri makin tenggelam dalam pikiran galau. Pada setiap detik yang lenyap berlalu, pikiran galau itu semakin menyelimuti benaknya. Tiba-tiba ia merasa sedih. Pikiran pada puncak galau berubah menjadi kesedihan. Perasaan sedih yang semakin kuat mengikuti gerak waktu. Akhirnya Ia berada dalam kesedihan yang begitu dalam, sampai tak mampu dibendung. Tapi ia memang perempuan luar biasa. Perempuan yang sangat kuat. Ia sadar akan kesedihan yang terlalu dalam sedang menyelimuti jiwanya. Ia sadar bahwa kesedihan sedalam itu lebih baik bila dapat dilampiaskan. Agar segera dapat berkurang jika tak mungkin untuk dihilangkan.
Sumber Foto:   http://matahariku.com

Ia ingin melampiaskannya dengan cara menangis. Bahkan ia ingin berteriak sekuat-kuatnya dan menangis sepuasnya. Sang putri segera menutup pintu, tapi tak dikuncinya.  Lalu berdiri dan bersandar pada sudut dinding kamarnya. Tidak ada yang mengetahui semua ini. Ia mulai menarik nafas untuk mengumpulkan tenaga. Diulangi beberapa kali dengan nafas panjang dan sangat dalam. Tujuannya agar tenaganya cukup besar untuk melakukan pelampiasan dengan tangisan dan teriakan. Pada detik-detik ketika menarik nafas sebelum tangis dan teriakan dilepaskan, tiba-tiba wajah kedua pangeran yang meminangnya itu muncul secara bersamaan. Wajah itu tepat di depan pandangan matanya. Sekitar tujuh langkah dari tempatnya berdiri. Tapi sang putri tidak merasa aneh, tidak takut. Malah ia ingin menyambut wajah-wajah itu.

Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang. Munculnya wajah-wajah itu tidak bergiliran. Bukan silih berganti. Tapi bersamaan secara tepat. Persis lurus dengan pandangan mata sang putri. Kedua wajah itu begitu tenang. Menatap dengan lembut. Teduh dan tersenyum. Pada kedua wajah itu sangat jelas nampak gurat-gurat pesan yang penuh harap. Gurat-gurat wajah itu memancarkan cahaya yang menjanjikan cinta begitu tulus. Cinta yang sudah tak mampu lagi membendung harapan yang begitu deras menghanyutkan jiwa mereka masing-masing. Cinta yang terlalu mulia untuk dicampakkan. Cinta yang telah menyiapkan sebauh masa depan yang indah, bahagia, dan memanjakan. Menjadi permaisuri seorang raja, dalam sebuah negara makmur. Sejahtera dan damai. Gemahripah Loh Jinawi.
Sumber Foto:   http://flickr.com

Saat ini Putri Mandalika tidak lagi mampu menggunakan pikirannya. Tidak ada lagi logika yang mampu menyentuh otaknya. Ia benar-benar tenggelam dalam rasa. Hal ini menyebabkan sang putri tak mampu berkedip. Ia sepenuhnya menatap kedua wajah itu tanpa henti. Tanpa jeda sedetikpun. Kini Ia merasa takut untuk berkedip. Takut untuk berpaling sedetikpun dari wajah-wajah itu. Takut kehilangan. Takut bila ditinggalkan oleh kedua pangeran itu. Ia merasa wajah itu datang untuk menyelamatkannya.

Putri Mandalika merasakan sesuatu sangat kuat dalam jiwanya. Bahwa wajah kedua pangeran itu datang untuk memberi kebahagiaan ketika ia berada dalam puncak kesedihan yang tak mampu dibendung. Ia merasa diselamatkan dari sebuah bencana dalam jiwanya. Telah ditolong ketika berada dalam pucak kesedihan yang tak mampu dilawan. Kesedihan yang tak dapat dihilangkan. Dan tak mungkin dapat ditepis. Bahkan sekadar untuk mengurangi pun, hanya dapat dilakukan melalui pelampiasan dengan tangis dan teriakan. Tapi kini wajah-wajah itu telah membangkitkan semangat hidupnya. Telah menyebabkannya tak perlu lagi menangis. Tidak harus meneteskan air bening dengan rasa perih dari sudut-sudut mata indah itu.
Sumber Foto:   http://tumblr.com

Ia merasa tak perlu lagi untuk berteriak. Karena ia telah keluar dari puncak kesedihannya. Telah lepas dari selaksa beban berat dan duka dalam. Wajah kedua pangeran itu begitu indah. Mereka adalah dua laki-laki yang begitu sempurna. Mereka menolong, tepat ketika diperlukan. Datang untuk menyelamatkan, persis ketika raga dan jiwa dalam jerat. Menyirami dengan senyum lembut dari wajah yang begitu tampan. Memberi keteduhan bagi jiwa yang sedang kerkapar di tengah gersang. Ternyata, kini..., saat ini..., Sang Putri Mandalika, tiba-tiba telah jatuh cinta. Tak mampu lagi menolak kedua pangeran itu. Dan ingin memiliki.

Sang putri masih menatap kedua wajah itu sambil berdiri bersandar di sudut dinding kamar. Tak ada dayang dan pelayan di sana. Hanya sang putri dan dua pangeran tampan itu. Rasa takut kehilangan masih menyelimuti jiwa sang putri cantik itu. Bahkan semakin kuat. Ia hampir menangis ketika rasa takut itu benar-benar pada puncaknya. Tapi kedua wajah itu tersenyum lagi. Menyirami jiwa sang putri yang begitu gersang, begitu rapuh. Memberi harapan pada cinta yang sedang tumbuh dari jiwa yang pernah menolak tak bergeming. Putri Mandalika tersenyum, membalas senyum harapan dari wajah kedua pangeran itu. Tiba-tiba sang putri merasa ingin mendekat untuk menggapai wajah-wajah itu. Ia hanya perlu tujuh langkah untuk dapat menyentuhnya.

Ada sedikit perasaan malu untuk mulai bergerak melangkah. Ada juga rasa ingin memilih satu dari dua pangeran itu. Dan berbagai macam perasaan muncul silih berganti mencegahnya untuk melangkah mendekat. Akhirnya Putri Mandalika nekad untuk melangkah. Ia membuang seluruh perasaan yang menghalang itu. Ia mengangkat kaki kanannya untuk mulai melangkah mendekat. Tapi pandangan tetap tak berkedip, tajam menukik kedua wajah itu. Ketika kaki kanan itu menyentuh lantai kamar tempat berpijak, kaki itu terasa dingin karena kesadaran menjemput. Kesadaran melintas menyentuh otak sang putri. Telapak kakinya terasa dingin. Karena tanpa alas kaki berpijak pada lantai di ruang tidur itu. Pada detik itu, Putri Mandalika terkejut hampir pinsan. Karena wajah-wajah tampan itu tiba-tiba tidak kelihatan lagi dalam pandangannya. Lenyap, entah kemama.
Sumber Foto:   http://twicsy.com

Dua orang dayang bergegas membuka pintu dan segera masuk ke kamar sang putri. Karena mendengar suara tangis yang tertahan. Ditemukn sang putri tidur telungkup menyembunyikan wajah pada bantal yang basah dengan air mata. Mereka ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Namun setiap pertanyaan para dayang dijawab hanya dengan menggeleng. Putri Mandalika terisak makin kuat. Karena berjuang menahan tangis. Menyembunyikan perasaan luka. Menahan rasa kecewa. Membenam duka begitu dalam. Karena kehilangan wajah-wajah itu setelah mengukir harapan. Setelah jatuh cinta. Setelah memahat cita-cita. Dan setelah menyandarkan mimpi-mimpi indah pada kedua pangeran yang beberapa saat yang lalu lenyap meninggalkannya.

Salah seorang dayang minta ijin sang putri untuk melaporkan keadaan sang putri kepada Mantri yang sedang bertugas. Atau bisa juga melapor langsung kepada raja jika masalah ini sangat pribadi. Tapi sang putri tetap menjawab dengan menggelengkan kepala yang masih melekat tertelungkup pada bantal. Gelengan kepala yang berarti melarang. Para dayang tak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya duduk di sisi tempat tidur sambil termangu. Menemani sang putri yang sedang bersedih. Sambil memijit-mijit kaki dan betis sang putri sekenanya, semampunya.

Sang putri tetap tidak mengangkat wajah dari bantal tidurnya, meski para dayang mencoba menghibur. Wajah itu masih tertelungkup. Para dayang sudah beberapa kali mengganti sarung bantal yang basah dengan air mata. Mereka benar-benar ikut bersedih. Karena mengetahui secara pasti, sang putri belum terlelap sedetikpun sampai terdengar suara adzan subuh dari Masjid di lingkungan istana. Wajah itu masih tertelungkup dan masih meneteskan air mata.
Sumber Foto:   http://flickr.com

Sejak saat itu sang putri benar-benar seperti tenggelam dalam kubangan lumpur Dilema Pahit. Ia jatuh cinta yang tak dapat dibantah. Tak mampu dibendung. Ia dibalut kerinduan yang terpaksa harus ditahan dengan penderitaan. Penderitaan panjang itu menyebabkan tak ada rasa bangga dengan cintanya pada pangeran itu. Meskipun ia sadar sepenuhnya bahwa dirinya pun dicintai oleh sang pangeran. Bahkan sampai melamarnya dua kali, dan dengan ancaman bila menolak”, kata Adhe menjelaskan. Wajah Adhe masih kelihatan tegang. Aku sengaja mengajak Adhe terus berjalan ke arah timur. Untuk melihat pantai-pantai yang lebih indah pada siang hari. Mungkin dapat mengurangi ketegangannya karena ceritanya sendiri tentang gadis putri raja itu.
Sumber Foto:   http://lombokituindah@facebook.com

Jadi, Putri Mandalika menderita bukan karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi justeru tidak ada yang dapat dibanggakan dari cinta para pangeran itu. Malah sangat berat dan beresiko. Karena cinta yang sangat kuat datang dari dua orang laki-laki egois secara bersamaan. Keduanya bukan sembarang laki-laki. Tapi para pangeran kerajaan. Putra para penguasa. Para pemilik bala tentara yang kuat dan rakyat yang tidak sedikit. Sama-sama feodalis yang sanggup bertaruh dengan pertumpahan darah. Sama-sama telah siap untuk tega menyengsarakan rakyatnya sendiri dan rakyat lawan-lawannya. Dan keduanya, sudah sama-sama mengancam dan memaksa. Tapi pada keduanya juga, Sang Putri Mandalika sudah jatuh cinta pada kadar yang sama. Kadar yang tak dapat dibendung, tapi harus dibayar dengan pengorbanan dalam dilema pahit.
Sumber Foto:   http://mojotravel.wordpress.com

Sementara penderitaan Putri Mandalika terus berlanjut sudah sebulan lamanya, berbeda dengan apa yang terjadi pada Pangeran Datu Teruna di Kerajaan Johor dan Pangeran Maliawang di Kerajaan Lipur. Sejak berita penolakan disampaikan oleh para pembayun masig-masing, para petinggi kedua kerajaan itu mulai mempersiapkan bala tentara dan masyarakatnya untuk rencana penyerangan. Mereka melakukan latihan-latihan dan mengumpulkan keperluan pendukung perang. Misalnya perbekalan dan persenjataan. Para pendekar mulai melatihkan jurus-jurus jitu untuk teknik-teknik penyerangan, penyergapan dan perlindungan. Demikian juga para ahli mantera, melakukan hal-hal sesuai keahlian mereka atas perintah raja.
Sumber Foto:   http://kampoengholidays.wordpress.com

Penderitaan Putri Mandalika sudah berlangsung cukup lama dan sangat menyengsarakannya. Rasa menderita yang selalu menemaninya sepanjang hari-hari kehidupannya sejak lamaran kedua pangeran itu ditolak. Penderitaan yang muncul setiap ia berada pada titik kesadaran, bahwa ia sedang berada dalam dilema yang begitu pahit. Dilema berat dan sulit yang makin menjerat. Tak ada sedikitpun celah untuk menempatkan pilihan cara pemecahannya, kecuali perang berdarah. Rasa menderita itu membuatnya tidak mampu memejamkan mata untuk lelap meski sejanak. Sekadar untuk melepas perih. Yang mampu dilakukan hanya menangis, dan menangis. Ia semakin kurus. Semakin pucat. Hidup tanpa gairah. Seperti hidup yang bertujuan hanya untuk menderita.
Sumber Foto:   http://flickr.com

Keadaan sang putri sudah tersebar ke seluruh rakyatnya. Bahkan berita dari mulut ke mulut sudah merambah masyarakat di wilayah kerajaan tetangganya. Raja dan Permaisuri Kerajaan Tonjang Beru gelisah setiap hari. Seluruh rakyat memberi simpati dan empati. Tapi mereka bingung dan prihatin terhadap kondisi sang putri panutan mereka. Putri harapan rakyat untuk membimbig kaum perempuan dalam hidup mereka. Seorang putri yang berjasa memperbaiki hidup rakyat melalui karya-karyanya. Berjasa mengembangkan ekonomi masyarakat dengan meningkatkan keterampilan kaum perempuan di bidang kerajinan lokal berupa kain tenun, kerajinan gerabah, anyaman dan lain-lain. Karya-karya yang telah lama membuktikan bahwa kemakmuran tidak seluruhnya bertumpu pada pertanian.
Sumber Foto:   http://lombokhotelandtravel.com

Putri Mandalika tak sia-sia menyumbngkan karya-karya besar untuk kesejahteraan rakyatnya. Ternyata ia sangat dicintai oleh rakyatnya. Kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Dan merekapun ternyata tidak tinggal diam atas penderitaan putri cantik ini. Mereka juga berbuat sampai pada tingkat yang pantas atas cintanya pada putri panutan yang menjadi harapan masa depan bangsanya. Tanpa ada komando dari sang raja. Tanpa dipengaruhi oleh para pejabat keraton, masyarakat Kerajaan Tonjang Beru bagitu antusias mem. . . . ..............(Bersambung)

Sumber Foto

Daftar Referensi
Bahan diskusi dan bacaan sebelum menulis artikel ini bersumber dari:
Anonim, 1992 – 2012. Cerita tentang Putri Nyale dari mulut ke mulut, dari para tetua di Desa Jerowaru dan Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Mamiq Hartawang, 1992. Cerita dan diskusi secara langsung untuk belajar tentang legenda Putri Nyale. Mamiq Hartawang (Almarhum) adalah mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat Desa Jerowaru. Nenek moyang beliau berasal dari Gunung Pujut Lombok Tengah, konon sekitar tempat beradanya Kerajaan Tonjang Beru.

2 komentar: