Minggu, 05 Mei 2013

Lombok – Putri Mandalika – Cinta Perempuan Mulia Dalam Dilema Pahit



(Bagian 5)


Pada saat itu, malam Jum’at. Atau Jum’at dinihari, tanggal 20, bulan 10 dalam penanggalan Kalender Sasak Lombok. Putri Mandalika muncul di pantai ini, untuk menghadapi 6 kerajaan. Mengumumkan secara terbuka keputusannya”, kata Adhe, melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat berapi-api. Sebagai seorang putri raja, Mandalika datang dengan diusung. Sejumlah pasukan pengaman kerajaan berbaris mendahului, sebelum pasukan pengusung bergerak dari istana ke arah pantai. Pasukan pertama ini bertugas membuatkan jalan berupa lorong di dalam samudera manusia yang sudah menanti selama 5 hari sebelumnya. Pasukan ini harus memastikan keamanan lorong yang berpagar manusia yang harus dilalui sang putri. Prosedur protokoler kerajaan juga memastikan ketatnya penjagaan sepanjang lorong tersebut, antara halaman istana sampai tepi pantai tempat sang putri akan berdiri, berpidato dan menyampaikan pengumuman terakhirnya.
Sumber Foto: http://forum.kompas.com

Seluruh peserta yang hadir di pantai itu begitu takjub menyaksikan Putri Mandalika yang sedang di arak. Di dalam usungan yang sangat mewah dan indah, selain sang putri, terdapat juga Raja dan Permaisuri. Di belakangnya terdapat satu usungan lagi. Berisi sejumlah keluarga kerabat dekat Kerajaan Tonjang Beru. Di depan usungan, berbaris rapi satu pasukan pengaman khusus bersenjata tombak, diikuti oleh satu pasukan lagi bersenjata keris. Di belakang usungan, terdapat juga dua pasukan yang persis sama seperti yang di depan usungan. Di belakang para pasukan ini, terdapat kelompok pendekar tanpa senjata, berpakaian khusus yang dirancang untuk siap tempur dengan tangan kosong. Di belakang para pendekar ini, berbaris rapi para demang, demung, arya dan berak yang bersenjata tak seragam. Terdiri dari tombak, enter, pedang, klewang, keris, kayu toya, blida, badik, parang, pisau, belakas, dan jenis-jenis senjata lain yang mereka anggap siap digunakan untuk bertempur.
Sumber Foto: http://www.dubman.com

Saat itu, masyarakat dari 6 kerajaan tamu hanya terkagum-kagum. Mereka hanya mampu melotot dan menatap takjub dengan mata tanpa berkedip, sambil menjulurkan leher. Mereka melihat Kerajaan Tonjang Beru bukanlah kerajaan sembarangan untuk diajak berperang”, jelas Adhe begitu bersemangat, seperti orang yang meletakkan pembelaannya kepada Kerajaan Tonjang Beru. Kondisi ini menggambarkan, bahwa Putri Mandalika beserta Raja dan Permaisuri, adalah para pemimpin yang begitu luar biasa bijak. Keluarga yang begitu mulia hati dan tindakannya, sehingga mereka begitu istimewa di mata rakyatnya.
Sumber Foto: lombokituindah@facebook.com

Mereka tetap tidak memilih untuk berperang, meskipun sebenarnya mereka mampu menaklukkan sekaligus 6 kerajaan tetangganya itu. Melihat keadaan pasukan pengawal usungan Putri Mandalika, seluruh pangeran dari 6 kerajaan itu mulai kecut. Bahkan dua pangeran yang pernah mengancam dengan perang, menjadi malu. Tak berkutik sama sekali. Kedua pangeran itu sesekali saling melirik dengan wajah pucat. Sementara para patih, dan petinggi kerajaan yang menyertai mereka juga terkagum-kagum. Sesekali mereka saling berbisik di antara mereka, bahwa kerajaan mereka sendiri tidak memiliki pasukan tempur dan senjata selengkap yang dimiliki oleh Kerajaan Tonjang Beru. Beberapa patih dan arya yang agak usil, kadang berani bercanda mengolok patih atau arya seniornya sambil mengagumi kehebatan pasukan Tonjang Beru. Ada yang bercanda dengan bertanya: “mana lebih kuat antara Elang dan Perkutut?” Ada yang menbandingkan kekuatan mereka seperti perbandingan antara Raksasa dan Kelinci. Tapi para patih dan arya senior mereka hanya bisa terdiam, berwajah pucat menahan malu.
Sumber Foto: http://anjarlombok.wordpress.com

Ternyata kekaguman mereka tidak berakhir dengan mengagumi kekuatan pasukan Kerajaan Tonjang Beru. Ketika usungan mulai nampak jelas, mereka semakin menggeleng-gelengkan kepala. Putri Mandalika, Raja, Permaisuri, dan seluruh anggota keluarga dekat yang diarak berada dalam usungan yang menakjubkan. Setiap orang duduk di satu kursi berlapis emas, bertatah berlian, dan terukir indah pada setiap kaki, pegangan tangan dan sandarannya. Sepanjang lorong yang dilewati berubah warna menjadi kuning dan berkedip. Karena sinar lampu yang menerpa kursi memantul memancarkan cahaya kuning dari emas berukir yang melapisi kursi.
Sumber Foto: http://baliland-forsale.com

Setiap anggota keluarga menggunakan busana dari bahan sutera. Sarung dan baju berwarna hijau muda dengan gurat ungu bersemat berlian pada setiap lubang kancing. Dodot hitam dengan singkur berbentuk garuda pada tangkai kris di punggung. Di kepala, mereka menggunakan “Sapuk” (semacam blangkon) dari bahan sutera hitam, bermotif bunga pakis kuning emas pada setiap sudutnya. Konon busana yang dipakai keluarga dirancang sendiri oleh Putri Mandalika. Sang putri tidak mengijinkan meneka menggunakn pakaian resmi seragam keluarga kerajaan. Karena pakaian seragam resmi keluarga kerajaan jauh lebih mewah lagi. Sang putri khawatir kalau kecemburuan akan muncul dari pihak kerajaan lain yang hadir. Sebaliknya, para pangeran dan petinggi kerajaan lain yang hadir saat itu, menganggap pakian itu sudah luar biasa mewah. Bahkan mereka menjadi sedikit minder karena membandingkan dengan apa yang mereka miliki di keraton mereka.
Sumber Foto: http://lombokindonesia.org

Khusus busana untuk Putri Mandalika, Raja dan Permaisuri, telah dirancang dengan kondisi yang dianggap paling sederhana untuk ukuran keluarga inti dalam keraton Tonjang Beru. Sarung berwarna biru tua dengan motif bunga melati putih pastel dan keris kuning emas. Baju berwarna putih pastel dengan bermotif simbol kerajaan berupa dua naga saling membelit, berwarna coklat tua dan krem. Pada punggung naga diberi motif sisik seperti ular berwarna hitam. Di kepala menggunakan gelung mahkota yang memang kewajiban untuk digunakan, tidak boleh diganti atau dirubah, karena dianggap sakral bagi keturunan raja. Gelung mahkota ini memang sudah tersedia khusus untuk Raja, Permaisuri, Putri, dan Pangeran (bila raja memiliki putra). Gelung mahkota ini seluruhnya terbuat dari emas, bertatah berlian hijau dan sederet pasangan-pasangan mutiara berwarna putih dan hitam. Keindahannya tidak dapat diuraikan lagi dengan kalimat-kalimat. Terlalu lebay untuk diungkap dengan bahasa metafora.
Sumber Foto: http://flickr.com

Seluruh pasang mata tertuju pada keindahan usungan yang serba mewah dan indah. Kemewahan dan keindahan pada kursi berlapis emas yang menyebabkan remang berwarna kuning pada lorong karena emas memantulkan cahaya lampu. Sejumlah pasang mata itu kemudian beralih untuk menatap dan mengusik detail-detail busana indah dan mewah. Setiap tubuh yang menatap menarik nafas panjang, takjub, terkagum-kagum. Mereka sama-sekali tak peduli dengan hujan yang mulai turun membasahi tubuh dan pakaian mereka masing-masing. Tak ada lagi yang dapat medengar suara ombak yang semakin keras menghempaskan. Makin menggelegar seperti menyambut kehadiran Putri Mandalika dan Raja pantai selatan Lombok itu. Tak satupun dari mereka yang menghiraukan rasa dingin yang makin menyengat, karena angin makin keras mengiringi hujan.
Sumber Foto: http://creativemotionsidepost.wordpress.com

Usungan yang membawa Putri Mandalika sudah hampir tiba di bibir pantai. Pada saat ini semua mata mulai beralih. Mereka tidak lagi menatap keindahan emas dan berlian pada kursi. Tidak lagi terbuai oleh keindahan dan kemewahan busana-busana sutra manca warna-warni. Semua mata kini tertuju pada Putri Mandalika. Setiap pasang mata itu menatap tajam, bahkan melotot keras tak terasa oleh para pemiliknya. Setiap mata menukik pada wajah putri cantik dan anggun. Menyapu wajah dan tubuh yang begitu indah. Melihat detail pada bentuk hidung, bibir, mata, alis, kening, telinga, jari tangan, lentik kuku, dan segala keindahan yang dapat dilihat pada wajah itu dan tubuh itu.
Sumber Foto: http://bali-lombok-gili.de

Putri Mandalika menebar senyum sambil melambaikan tangan untuk menyapa setiap orang. Senyum yang begitu indah. Tangan yang mulus tanpa cela. Tangan yang berkulit kuning langsat. Warna kulit yang dapat menggeret pikiran untuk menyimpulkan bahwa tangan itu pasti begitu lembut. Kesimpulan yang dibangun dari perasaan halus yang sempat mengalir menerpa kulit itu dalam imajinasi. Perasaan subyektif. Perasaan manusiawi. Mewujudkan kesimpulan imajinatif yang subyektif dan manusiawi. Tapi sering lebih tepat ketimbang kesimpulan obyektif yang bersandar pada detail-detail logika dan sibuk dengan argumentasi. Sibuk dengan bunyi omongan tanpa mengecap rasa yang mengalir dalam bathin paling dalam.
Sumber Foto: http://pasirputih.com

Putri Mandalika masih menebar senyum dan melambaikan kedua tangan ketika disambut para dayang dan pengawal di tepi sebuah batu besar di bibir pantai. Putri dibantu oleh para dayang ketika menapakkan satu kaki pada batu. Lalu melangkah berpindah dari kursi usungan ke sebuah batu besar yang sudah ditetapkan sebagai tempat berdiri untuk acara ini. Mandalika menyapu seluruh tamunya dengan pandangan yang sangat bersahabat. Pandangan indah penuh cinta. Sambil mengarahkan pandangan agar dapat melihat semua orang yang hadir, mandalika masih melambaikan tangan ke semua arah yang ditempati oleh para tamunya yang sudah lama menanti kehadirannya.
Sumber Foto: http://in-tourism.com

Semua orang menyambutnya dengan perasaan bahagia atas kehadiran sang putri cantik itu. Tapi semua orang juga masih takjub, terkagum-kagum. Bukan hanya kecantikannya mangagumkan. Tapi sikapnya yang begitu santun, menyapa dengan melambai begitu ramah. Putri tak memilih apakah itu rakyatnya atau rakyat dari kerajaan lain. Setiap orang menantikan apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh sang putri. Mereka menerka sambil mengikuti perasaan masing-masing. Semua orang merasakan debar jantungnya sendiri untuk menyambut apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Mandalika.
Sumber Foto: http://d3v1l0m3n.deviantart.com
Hujan makin deras tak terasa. Suara gemuruh bertalu-talu dan petir menggelegar tak dipeduli oleh seorangpun. Halilintar seperti menyambar langit, membakar mendung, menerangi pantai dengan kilatan-kilatan merah, tapi tak menyebabkan mereka bergeming untuk beranjak dari rasa kagum. Ombak bergulung-gulung, seperti berteriak menghempas pantai dan membentur tebing, tapi tak ada satupun yang mendengar. Mereka sudah seperti tidak punya telinga, tak punya mata, tak punya kepedulian. Bahkan mereka tidak patuh lagi pada logika mereka sediri. Mereka hanya berdiri karena memiliki rasa kagum, rasa bahagia, dan debar jantung karena penasaran apa yang akan dikatakan dan dilakuka sang putri.
Sumber Foto: http://welt-atlas.de

Mandalika memulai ucapannya dengan memberi salam. Lalu menyampaikan ucapan yang mencerminkan rasa hormatnya kepada semua yang ada di tempat itu. Mulai dari kedua orang tuanya yang menjadi Raja Tonjang Beru. Kemudian kepada rakyatnya dan masyarakat tamu yang datang dari 6 kerajaan lainnya. Kemudian ucapan hormat khusus kepada 6 pangeran, dan lebih khusus lagi kepada 2 dari 6 pangeran yang sempat menyebabkan sang putri jatuh cinta sampai sakit. Sebelum menyampaikan apa keputusannya tentang lamaran 2 pangeran tersebut, Mandalika minta ijin untuk menyampaikan sejumlah Lawas Sambat yang memang sudah disiapkannya.
Sumber Foto: http://imagicity.com

Lawas sambatnya menjadi pengantar dan uraian alasan-alasannya sebelum keputusan disampaikan secara tegas. Sejumlah lawas sambat yang diciptakannya diberi nama Lawas Sambat Mandalika. Ia menceritakan tentang cintanya dalam bahasa metafora menggunakan prilaku alam. Ia menjelaskan tentang cinta yang sesungguhnya. Cinta yang universal seperti cahaya matahari. Cinta bagi siapapun. Seberkas cinta untuk membahagiaan siapapun. Cinta yang takkan pernah bersanding dengan kebencian atau kejahatan. Karena cinta untuk kebahagiaan. Sedangkan kebencian mendatangkan kesengsaraan. Bahwa kebahagiaan takkan pernah bersanding dengan kesengsaraan sekaligaus pada satu tempat dalam waktu yang persis sama. Cinta sebagai substansi, untuk meraih seluruh bentuk kebahagiaan yang diimpikan.
Sumber Foto: http://nationalgeographic.co.id

Hampir satu jam Mandalika melantunkan Lawas Sambat ciptaannya, tentang dirinya dan cintanya. Selama itu pula setiap orang hanya menganga, mengagumi setiap lantun dari syair-syairnya. Tak ada satupun yang beranjak dari tempat berdirinya sejak awal. Padahal mereka diguyur hujan di bawah langit berlampu halilintar dan ditiup hembusan angin dingin dini hari. Tak ada yang peduli dengan kedaan buruknya cuaca saat itu. Setiap bait lantun Lawas Sambat seperti menuntun mereka tentang agungnya seberkas cinta. Bahwa cinta tidak pantas bersanding dengan kekerasan, pemaksaan, dan bentuk kejahatan dan kebencian apapun. Sebagian besar para tamu perasaannya tersentuh begitu dalam oleh lantun syair-syair Mandalika. Lalu mereka tak sadar meneteskan air mata. Perasaan itu membuat mereka semakin takjub, bahkan hampir tak sadarkan diri.
Sumber Foto: http://lisa-art.deviantart.com
Ayah, bunda, keluargaku, dan masyarakat Tonjang Beru. Para Pangeran dan para tamu utusan 6 kerajaan, beserta seluruh masyarakat dari 6 kerajaan tersebut”, kata Putri Mandalika memulai pengumumannya dengan suara lantang menggema, setelah seluruh Lawas Sambat selesai di lantunkan. Degub jantung setiap orang makin keras, meski udara makin dingin, karena hujan makin deras dan angin makin kencang. Setiap orang memasang konsentrasi makin tajam. Kedua pangeran juga masih menyimpan sisa-sisa harapannya. Meski dari lawas-lawas tadi sudah sangat jelas menggambarkan pendirian Mandalika.
Sumber Foto: http://infolombok.net

Aku, Mandalika, putri dari Kerajaan Tonjang Beru. Memiliki cinta begitu besar, begitu agung dan begitu dalam”, ucap Mandalika dengan suara sedikit tersedak, terputus seperti ada sesuatu yang menghambat di leher. Mandalika meneteskan air mata. Bukan karena sedih. Tapi karena menghayati tentang cintanya yang sedang diucapkannya. Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang memperbaiki sikap berdirinya. Kedua mereka ini seperti menjulurkan leher agar wajahnya lebih jelas dilihat oleh Putri Mandalika. Ternyata, di balik rasa malu dan wajah pucat sejak arak-arakan pasukan tempur tangguh yang mengusung Mandalika tadi, di bathin kedua Pangeran itu masih tersimpan harapan. Lawas Sambat yang bermakna sangat jelas tadi, ternyata belum dapat menghapus harapan mereka. Atau mereka mungkin sudah benar-benar tuli karena cinta, atau buta karena egois yang sangat kuat.
Sumber Foto: http://whereintheworldarejonandjenn.weebly.com

Putri Mandalika tersenyum, sambil melambaikan tangan yang indah itu ke semua arah tempat-tempat masyarakat itu berdiri tegak. Lambaian tangannya dibalas oleh mereka. Mandalika melanjutkan pengumumannya: “Cintaku yang sangat besar dan begitu dalam itu untuk semua kalian, tidak terkeuali. Untuk seluruh manusia. Bahkan untuk seluruh makhluk bernyawa. Untuk tumbuh-tumbuhan. Untuk alam semesta. Karena cintaku untuk membahagiakan seluruh masyarakat. Bahkan seluruh manusia”, ucapnya lagi dengan suara terputus. Pernyataan ini menyebabkan masyarakat yang hadir merasa bahagia, karena dicintai dan akan dibahagiakan oleh seorang perempuan cantik. Mereka tidak terlalu peduli, bentuk cinta itu seperti apa. Yang penting semua yang hadir itu akan mendapatkan cintanya. Sementara Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang menafsirkan bahwa Putri Mandalika saat ini sengaja membelok-belokkan pernyataannya. Hanya untuk membuat penasaran. Tapi pada akhirnya nanti pasti akan memilih salah satu dari mereka. Kedua pangeran ini makin bergairan menjulurkan mukanya agar dilihat lebih jelas oleh Mandalika.
Sumber Foto: http://noodlesendcurry.com

Malam ini, tanggal 20, bulan 10 dalam penanggalan Kalender Sasak Lombok. Aku datang untuk kalian semua. Aku datang menjadi Sinar, menjadi Cahaya, menjadi Nyala. Agar dapat menerangi hidup semua manusia. Untuk membahagiakan semua. Untuk dinikmati oleh semua”, ucapnya dengan sangat lembut sambil tersenyum begitu cerah, terang benderang, dan sangat indah. Suara riuh muncul dari masyarakat yang begitu banyak ini. Karena mereka saling bertanya bagaiman caranya untuk tau Mandalika datang kepada mereka untuk memberi kenikmatan dan kebahagiaan itu. Dalam bahasa sasak mereka bicara dengan kalimat-kalimat yang menggambarkan bahwa mereka sudah cukup paham. Cirinya, kata mereka dalam dialog bahasa sakak: “Mandalika Jari Cahya (Mandalika menjadi cahaya), atau Mandalika Jari Nyale (Mandalika menjadi Nyala).” Setiap orang begitu berbahagia dan berharap untuk selalu dapat bertemu untuk memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan dari sang putri cantik ini.
Sumber Foto: http://ayenoer.blogspot.com

Sekarang,... dengarlah. Perhatikan kalimatku yang terakhir. Kalimat yang paling penting. Tidak ada lagi kalimat yang akan terucap  atas nama jiwaku setelah kalimat berikut ini”, kata Putri Mandalika. Kontan semua masyarakat itu berdiri tegak memberi perhatian, memasang telinga. Mereka takut ketinggalan untuk berita penutup ini. Tak satupun berbicara. Kedua pangeran itu masih sangat berharap. Mereka menduga, kalimat terakhir inilah untuk mereka. Mandalika pasti menentukan salah satu ari mereka. Tidak ada suara manusia. Yang terdengar justru petir tiba-tiba menggelegar. Halilintar menyambar setiap gumpalan awan seperti burung merah sedang berseliweran di angkasa. Angin bertiup sangat kencang bersama hujan yang sangat deras mengguyur. Ombak menghempas. Setiap mata tertuju pada wajah Putri Mandalika untuk memperhatikan mimiknya ketika berucap. Wajah itu makin jelas karena halilintar hampir setiap detik menerangi darat.
Sumber Foto: http://balirealestate.net
Karena cintaku yang sangat besar dan begitu dalam untuk semua. Maka aku adalah milik semua. Aku tidak akan pernah menjadi milik salah satu pangeran. Dan tidak akan pernah menjadi milik bersama dari dua pangeran manapun”, ucap Putri Mandalika mengakhiri kalimatnya. Tanpa diduga, begitu berakhir kalimatnya, Putri Mandalika menanggalkan . . . . . . . . . . . . . . ..............(Bersambung)
Sumber Foto: http://lorentzga.deviantart.com




Daftar Referensi
Bahan diskusi dan bacaan sebelum menulis artikel ini bersumber dari:
Anonim, 1992 – 2012. Cerita tentang Putri Nyale dari mulut ke mulut, dari para tetua di Desa Jerowaru dan Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Mamiq Hartawang, 1992. Cerita dan diskusi secara langsung untuk belajar tentang legenda Putri Nyale. Mamiq Hartawang (Almarhum) adalah mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat Desa Jerowaru. Nenek moyang beliau berasal dari Gunung Pujut Lombok Tengah, konon sekitar tempat beradanya Kerajaan Tonjang Beru.

1 komentar:

  1. Makasih ya sambungannya... ditunggu jilid ke-6nya... tanggung bangets sih ceritanya..

    BalasHapus