Minggu, 19 Mei 2013

Lombok – Putri Mandalika – Cinta Perempuan Mulia Dalam Dilema Pahit



(Bagian 7) (*)

Aku tidak melihat apa yang sedang dilakukan Adhe, karena pandanganku masih sepenuhnya tertuju ke arah pantai. Tapi entah inderaku yang nomer berapa yang sedang bekerja sangat tajam dan sensitif. Aku dapat merasakan sesuatu yang tidak aku lihat. Adhe menatapku serius dari arah samping kiri. Mata indah itu melotot tajam. Ternyata dengan melotot malah membuat mata itu makin indah. Bening di bola hitam itu makin cerah, berbinar. Mungkin perasaan ini hanya karena pikiranku yang masih menyimpan harapan. Agar tak terjadi perang besar di antara kami. Karena dampaknya pasti berbahaya dan berkepanjangan. Tidak ada orang yang bisa melihat. Tidak ada manusia yang dapat dijadikan saksi. Polisi akan bakal kesulitan mengidentifikasi dalam penyidikan. Apakah yang terjadi perang berdarah, atau perang dalam bentuk-bentuk lain. Pikiranku mulai ngawur kemana-mana. Aku belum juga bisa terhibur.


Sumber Foto: http://twicsy.com
Ketika mengikuti perasaanku yang masih marah, aku tiba-tiba dikagetkan. Suara Adhe seperti meledak, untuk meledek. Adhe tertawa terbahak-bahak. Denyut dan panas di ubun-ubunku jadi hilang seketika. Aku malah menikmati tangan lembut milik Adhe. Sangat terasa, tangan itu menarik kupingku, agar arah kepalaku berpaling dari warna-warni langit pantai yang sedang kutatap. Agar aku memandang ke arahnya. Kubelokkan kepalaku mengikuti tarikan tangannya. Maksudku agar rasa sakit di daun telingaku tidak perlu muncul. Supaya rasa lembut tangan itu lebih dominan. Supaya tangan itu tetap di sana selamanya. Tapi Adhe tidak lagi memegang telinga itu ketika kami sudah berhadapan. Lalu ia mengatakan: “Dengarkan, agar kamu dapat menulisnya menjadi artikelmu. Aku akan melantunkan 4 judul Lawas Sambat Mandalik. Semuanya sudah kuterjemahkan dari bahasa sasak ke dalam bahasa Indonesia.”

Sumber Foto http://123rf.com
Aku begitu bahagia saat ini. Ternyata Adhe tidak seperti yang aku bayangkan. Ia bukan sekadar mampu bercerita tentang Mandalika. Aku merasa bersalah, telah menganggapnya membelok-belokkan cerita untuk menghindari syair-syair dalam Lawas Sambat sang putri cantik itu. Baru pertama kali ini aku mendengar Adhe mengucapkan bait-bait syair dari puisi-puisi cinta. Setiap kalimat diucapkan dengan lantun intonasi bunyi yang persis seperti maknanya. Ada kalimat yang diucapkan dengan suara begitu lembut menyentuh. Ada juga kalimat yang diucapkan datar, dan terdapat pula kalimat-kalimat yang diucapkan dengan lantun berintonasi tinggi, bahkan melengking seperti memanggil sesuatu yang tempatnya begitu jauh.

Sumber Foto: http://cybersulut.com
Ada juga bait-bait sambat yang disampaikan Adhe dalam bentuk lawas. Dilantunkan dengan nada mirip tembang sasak yang sangat melodis, bahkan melankolis, dan kadang sentimentil. Aku hampir lupa kalau saat itu kami sedang berada di pantai. Pikiranku terbawa oleh syair-syair yang menyiratkan makna begitu dalam. Perasaanku seperti mengalir, dan makin hanyut oleh nada-nada yang semakin lama semakin mengusik bathin. Syair yang berbeda dalam lawas yang sama, kadang dilantunkan dengan langgam yang bebeda. Sesekali kadang mirip tembang Sinom, tapi tidak persis. Kadang terdengar seperti tembang Maskumambang, tapi juga tidak sepenuhnya sama. Beberapa kali juga melengking melankolis, seperti lawas Bawo Daye. Mengingatkan aku pada tembang-tembang yang dulu sering dilantunkan kakekku untuk menggambarkan sambat-sambat dalam cerita Sandubaya. Aku begitu terkagum-kagum, ternyata Adhe sangat fasih dengaan jenis-jenis tembang sasak, Lombok.

Sumber Foto: http://newsoftourism.com
Kenapa kamu seperti orang bersedih?” Pertanyaan Adhe mengagetkan aku yang sedang tenggelam dalam kesedihan. Tentang seorang Mandalika. Cepat-cepat aku memperbaiki posisi dudukku. Maksudku untuk menyembunyikan perasaanku. Adhe malah tertawa, seperti menyindir. Tertawa yang mengolok. Tertawa seperti menjelaskan bahwa ia sebenarnya sudah mengetahui apa yang sedang aku rasakan. Aku berusaha ikut tertawa. Hanya sikap pura-pura. Membohongi pikiran dan perasaanku sendiri. Tapi kemudian aku menyadari, kebohonganku tidak punya arti apa-apa. Tidak membawa keberuntungan apa-apa. Karena perasaanku yang paling dalam sudah diketahui oleh Adhe. Akhirnya aku memilih untuk jujur dalam sikapku berikutnya. Lalu kukatakan pada Adhe: “Sungguh seorang Mandalika itu adalah manusia luar biasa. Manusia yang hidup dengan cintanya. Manusia yang mempersembahkan cintanya buat siapapun”, kataku dengan nafas tersendat-sendat karena masih bersedih ketika mengakhiri kalimatku.

Sumber Foto: http://jajalindo.com
Apa....? Luar biasa...? Mandalika itu memang benar punya cinta yang sangat besar pada rakyatnya. Ia perempuan muda yang ikut memberi sumbangsih besar untuk memperbaiki ekonomi masyarakatnya. Tapi yang luar biasa itu sebenarnya seorang laki-laki yang menjadikan Mandalika tersohor, bahkan melegenda...,” kata Adhe menjelaskan. Pernyataan Adhe ini seperti petir yang menyambar, dan menampar pipiku. Aku diam sejenak. Emosi sedihku langsung berubah menjadi emosi tempramental. Aku mendengar seorang Adhe yang selama ini begitu mengagumi Mandalika, tapi kali ini tiba-tiba bersikap sebaliknya. Aku sempat berpikir: “Apakah Adhe sengaja mempermainkan emosiku? Sengaja untuk selalu berusaha membuat pernyataan yang terbalik dari segala sesuatu yang sedang aku rasakan?” Aku sedikit kesal dengan sikap perempuan ini. Aku tidak mampu lagi menahan rasa marah. Kucoba menarik nafas panjang, agar emosiku sedikit menurun dan dapat dikontrol.

Sumber Foto: http://noodlesandcurry.com
Terus....., apa maksudmu...? Siapa laki-laki itu...? Kamu harus lebih obyektif mencerna dan menalar cerita yang kamu ceritakan sendiri....,” sergahku sedikit menasehati Adhe tentang sikapnya yang plan-plin tentang Mandalika. Aku sangat tidak setuju kalau yang disebut menjadikan Mandalika terkenal, tersohor, dan melegenda itu adalah para pangeran itu. Laki-laki yang serakah. Mengancam dengan perang untuk memaksa perempuan bersedia menjadi miliknya. Laki-laki yang benar-benar tidak terhormat. Pengecut. Bahkan mungkin kurang beradab. Adhe tersenyum. Mungkin ia melihat aku begitu emosi. Kali ini Adhe pasti melihat aku benar-benar berbeda. Pipiku terasa panas. Kepalaku terasa berdenyut-denyut di sebelah kanan dan kiri. Aku berusaha bersandar pada tebing itu untuk dapat bernafas lebih lega. Sangat terasa tekanan darahku berangsur-angsur naik. Ada suara denging berbunyi di lubang telingaku. Temanku pernah bilang, bunyi berdenging itu salah satu tanda tekanan darah meningkat dan emosi mendekati puncaknya.

Sumber Foto: http://justinandlynne.travellerspoint.com
Ia seorang laki-laki yang sangat cerdas pada zaman itu. Ia telah berhasil menggunakan daya imajinasinya untuk. . . . . . . .. . ..............(Bersambung)



(*)  LAWAS SAMBAT MANDALIKA: (1) dan (2)

Seberkas Cinta Matahari.... (1)



Matahari bukan tak mampu menembus mendung,
Seberkas cahaya merah membias, tersenyum....
Tanda mengalah penuh bijak, menjadi pelangi
Bahkan mendung diciptakannya dengan sengaja,
Ketika sinarnya menerpa laut membentuk uap,
Menyelimuti langit sebelum menetes jadi hujun

Uap melayang di angkasa dibawa angin,
Lalu mengembun karena disaput dingin,
Bening, sejuk, sabar menetes lembut,
Menyirami bumi, memberi harapan,
Penuh kasih dan cinta pada kehidupan,
Matahari ingin mengabdi, bagi semesta.







Sumber: http://lombok.panduanwisata.com
Hujan menyirami bumi demi seberkas cinta,
Menumbuhkan rumput kering di tanah gersang,
Memberi minum pada makhluk bernyawa,
Memberi sejuk bagi tubuh-tubuh dahaga,
Memindahkan humus hutan ke tanah ladang,
Mengabdi demi cinta bagi semesta.

Relakan aku menjelama jadi Nyala berpendar
Meniru nyala matahari nan bijak, penuh cinta
Perkasa tanpa rakus, tak serakah, tiada birahi
Berkuasa tanpa mencipta duka, tanpa celaka,
Kuasa penuh cinta, penuh makna bagi segala
Begitu tegar, perkasa, berkuasa dengan kasih sayang


Sumber: lombokituindah@facebook.com
Lepaskan, dan biarkan aku menjadi Nyala
Seberkas cahaya sejuk disaput mendung
Menurunkan hujan, lembut membawa damai
Sirami duka, beri makan, lepaskan lapar
Mengabdi, menepis murka, 
Memberi cinta dalam senyum semesta
Dengan cinta, ......dan demi cinta.










Kepiting-Kepiting Persembahan.... (2)

Sumber: http://commons.wikimedia.org
Lihatlah kepiting-kepiting itu,
Hanya mampu meringkuk bersembunyi,
Bersemayam di bawah batu, penuh cinta
Memberi makan pada anak cucu mereka

Adakah cinta buat mereka, ...?
Untuk kaki-kaki lemah itu,....?
Untuk hidup lebih damai dengan cinta,...?
Untuk membesarkan anak cucu mereka...?





Sumber: http://www.zonaikan.com
Nelayan miskin malah datang terpaksa,
Menangkap atas nama abdi bagi pangeran,
Sekeranjang kepiting lemah jadi persembahan,
Demi rasa takut, kadang demi sesuap nasi 

Begitu indah gemerlap istana para pangeran,
Daging kepiting tersaji mewah di meja makan,
Berserakan bersama botol-botol penuh tuak
Gelak tawa riuh menggelegar,  penuh nafsu
Menikmati dunia ningrat, dunia tanpa salah



Sumber: http://dunia-prairan.blogspot.com

Wajah-wajah makin merah, pembuluh penuh darah,
Tangan menggerayang tanpa batas moral,
Nafas-nafas berhembus penuh nafsu, penuh birahi,
Para dayang dan selir menyerah pasrah

Tubuh-tubuh molek meringkuk, mata terpejam
Tak berdaya melawan setiap titah
Tersenyum bersama pahit di lubuk bathin
Tak ada masa depan, tanpa mengukir impian
Harkat tergadai dalam pasung kekuasaan

Para pangeran sungguh menikmati dunia ningrat...
Terang, gelap, remang tak ada beda
Makin mabuk makin bangga, bahkan makin ningrat
Mabuk dipuji jadi dewa, disembah jadi berhala

Sumber: http://iqmaltahir.wordpress.com
Daging kepiting dan arak jadi pemanas darah,
Pikiran mabuk jadi kebenaran untuk petuah
Kekerasan jadi tindakan demi kekuasaan,
Perlawanan bangkit, perang berdarah tak terelak

Adakah seberkas cinta bening di lubuk hati pangeran?
Sebening embun pagi pantai selatan berpasir putih..
Tuk menyiram duka, membasuh derita para jelata..
Agar tersenyum, menggendong anak tanpa murung



Sumber: http:// www.flickr.com
Adakah nurani lembut di rongga dada pangeran?
Selembut syair pujangga, selembut tutur para ningrat
Untuk menangis melihat bangkai berlumur darah
Nyawa melenyap, anak-anak yatim meratap panjang.

Aku lihat hanya sambar halilintar menakutkan...
Gemuruh serakah nafsu bergelegar di bathinmu,
Pangeran tertawa, makin bergairah dalam mabuk
Melihat janda-janda cantik, suami menjadi bangkai.



Sumber: http://s983.photobucket.com

Aku, Mandalika, Putri Raja Tonjang Beru,
Takkan pernah rela seperti kepiting itu
Jadi persembahan, pemuas cinta penuh nafsu,
Demi luka bangkai-bangkai berlumur darah,

Menciptakan yatim dalam duka panjang
Dalam murung setiap temaram senja
Menyambut azan maghrib dengan air mata
Hanya mampu bersujud penuh iba


Aku, Mandalika, Putri Raja Tonjang Beru,
Hidupku demi cinta, pada semua,
Demi kebahagiaan bagi semua, bagi semesta,
Aku ada di bumi sasak, bukan untuk pangeran,
Maafkan aku. . . . . . . . . .

Putri Mandalika
Pantai Kute, Tonjang Beru, Lombok Selatan
Entah kapan, pada tanggal 20, bulan 10, dalam Kalender Penanggalan Sasak Lombok





Daftar Referensi
Bahan diskusi dan bacaan sebelum menulis artikel ini bersumber dari:
Anonim, 1992 – 2012. Cerita tentang Putri Nyale dari mulut ke mulut, dari para tetua di Desa Jerowaru dan Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Mamiq Hartawang, 1992. Cerita dan diskusi secara langsung untuk belajar tentang legenda Putri Nyale. Mamiq Hartawang (Almarhum) adalah mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat Desa Jerowaru. Nenek moyang beliau berasal dari Gunung Pujut Lombok Tengah, konon sekitar tempat beradanya Kerajaan Tonjang Beru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar