Minggu, 12 Mei 2013

Lombok – Putri Mandalika – Cinta Perempuan Mulia Dalam Dilema Pahit



(Bagian 6)


Karena cintaku yang sangat besar dan begitu dalam untuk semua. Maka aku adalah milik semua. Aku tidak akan pernah menjadi milik salah satu pangeran. Dan tidak akan pernah menjadi milik bersama dari dua pangeran. Pangeran manapun, tak akan pernah dapat memiliki Mandalika, putri Kerajaan Tonjang Beru”, ucap Putri Mandalika mengakhiri kalimatnya. Tanpa diduga, begitu berakhir kalimatnya, Putri Mandalika menanggalkan busana dan langsung melompat, melayang-layang di angkasa, dan menceburkan diri ke dalam laut. Keadaan air samudera saat itu sedang pasang dengan ombak menghempas sangat keras. Petir makin menggelegar. Suara gemuruhpun makin bertubi-tubi, sambung-menyambung. Hujan makin deras dengan angin sangat kencang.

Sumber Foto: lombokituindah@facebook.com
Semua orang yang berada di pantai seperti sedang berdiri dalam keadaan pingsan menyaksikan peristiwa itu. Mereka semua terdiam. Membisu karena dibuai rasa takjub yang luar biasa. Sebagian mereka masih menatap ke angkasa, karena mengira Mandalika masih melayang-layang di udara bersama gumpal mendung yang masih tersisa. Sebagian masih melotot menatap ke arah batu tempat Mandalika berdiri lebih dari satu jam sejak turun dari usungan sampai saat menceburkan diri ke laut. Mereka mengira putri anggun dan bijak itu masih berdiri sambil menebar senyum indahnya dari atas batu itu. Sebagian lagi, termangu menatap tajam kearah samudera. Pandangan mata mereka tertuju pada titik permukaan air di mana sang putri menukik menceburkan diri.

Sumber Foto: http://pasirpantai.com
Tapi ada sebagian kecil lagi dari mereka dengan cara yang lain. Hanya sebagain kecil dari mereka, berada pada pikiran sangat bijak. Mereka tidak menatap apapun, melainkan merenung mencari makna, tentang keajaiban apa yang sedang terjadi. Mereka mencoba mengingat secara runtun apa yang pernah diucapkan oleh Mandalika. Bahwa ia akan menyala. Bahwa pada saat ini, hari ini, tanggal saat ini, dini hari ini, Mandalika akan muncul seperti Cahaya, seperti Sinar. Ia akan menjadi Nyala. Mungkin akan seperti Nyala apai. Mereka menatap ke arah laut, karena tiba-tiba hujan reda dan menghilang. Tidak ada lagi petir, halilintarpun lenyap. Angin sepi, gumpal awan sirna. Langit menjadi lebih cerah, pada detik-detik fajar tiba, menjelang waktu subuh menjemput.

Sumber Foto: http://lombokituindah@facebook.com
Mereka melihat sesuatu yang agak aneh di tengah laut. Ada gumpalan-gumpalan benda bercahaya seperti sedang terapung. Seperti bergoyang-goyang mengikuti gerak air samudera. Gumpalan benda itu seperti memancarkan sinar, sehingga terlihat sangat jelas dari bibir patai pada dini hari itu. Tiba-tiba sebagian kecil dari orang-orang ini, seperti mengikuti aba-aba. Mereka serentak menunjuk ke arah benda-benda bercahaya itu, sambil berteriak sekeras-kerasnya dalam Bahasa Sasak dengan ucapan: “Tie Nyaleeeeeeee !!!” Maksudnya, “itu Nyala”, atau “itu sedang me-Nyala”. Mereka itu sebenarnya sedang mengungkapkan, ciri-ciri penjelmaan kehadiran Putri Mandalika yang pernah dituturkan oleh Putri Mandalika sendiri ketika menyampaikan pengumuman sambil berdiri di atas batu, beberapa saat sebelum pergi, sebelum melayang di angkasa, sebelum menceburkan diri ke laut.

Sumber Foto: http://dm.stagram.com
Seluruh masyarakat yang ada dipantai itu seketika mengarahkan pandangan ke laut setelah mendengar terikanan itu. Tak ada lagi sesuatau yang lain, semua mereka langsung menceburkan diri ke laut dan bergerak dengan segala cara menuju benda-benda yang berkedip seperti menyala itu. Ketika tiba di lokasi yang dikejar, tidak ada lagi cahaya, tidak nampak sinar apapun. Tidak ada lagi Nyala apapun yang tampak. Mereka menemukan gumpalan-gumpalan benda terapung mengikuti gerak air laut. Gumpalan-gumpalan benda itu semakin banyak dan begitu banyaknya sampai hampir menutupi permukaan air laut. Lalu mereka memperhatikan dan menangkap benda itu. Ternya gumpalan-gumpalan itu, adalah kelompok-kelompok binatang kecil, berupa cacing laut yang berkoloni, berkelompok, saling melilit.

Sumber Foto: http://lombokituindah@facebook.com
Sambil terus menangkap sejenis cacing laut itu dalam jumlah yang lebih banyak dan semakin banyak lagi, masyarkat itu terus mengingat tentang Putri Mandalika. Perempuan cantik itu takkan pernah dilupakan oleh mereka, bahkan mereka berjanji pada dirinya masing-masing untuk menceritakan peristiwa ini kepada anak cucu mereka. Sambil mengenang Putri Mandalika, dalam pikiran mereka mulai tumbuh semacam “pandangan baru”. Ketika menangkap setiap gumpalan kelompok cacing itu, mereka berpikir, bahwa inilah penjelmaan Mandalika yang menyebut dirinya akan menjadi Nyale. Karena dari pantai, tadi mereka melihat sangat jelas gumpalan-gumpalan itu berkedip seperti Nyala. Bercahaya, bersinar. Inilah penjelmaan Putri Mandalika. Inilah Nyale.

Sumber Foto: http://exoticbalitravel.com
Mereka begitu bahagia. Begitu ceria. Mereka menangkap Nyale sebanyak-banyaknya, sambil bergembira. Tertawa riang, saling menyapa, bersahabat. Sebangian dari mereka melantunkan sejumlah Lawas Sambat Mandalika untuk beberapa bait yang mereka ingat. Ada yang mengingat bait pertama. Yang lain mengingat bait keempat. Ada lagi yang mengingat bait-bait yang lain. Sehingga seluruh Lawas Sambat Mandalika menjadi utuh disambung sendiri oleh mereka sambil saling menyahut dalam lantunan masing-masing. Anak remaja muda-mudi lebih mudah menghafal. Mungkin karena mereka gunakan untuk saling menyapa dengan lawan jenis yang cukup berkesan dalam perasaan mereka. Terutama ketika kebetulan dua pasang mata bertemu dalam tatapan. Saling memandang penuh rasa.

Sumber Foto: http://lombok.panduanwisata.com
Setiap laki-laki hanya mengenakan celana sampai lutut. Kain sarung dilepas, lalu diikat pada salah satu ujungnya. Dibikin seperti karung. Digunaka sebagai tempat menampung Nyale tangkapan mereka, dan hasil tanggkapan perempuan pasangannya. Mereka masih bersahut-sahutan saling membalas dengan lantun lawas-lawas itu. Muda-mudi saling mendekat sambil meletakkan Nyale tangkapan yang semakin banyak. Lawas Sambat Mandalika tiba-tiba menjadi perekat ketika mempertemukan mereka. Beberapa saling menatap lebih tajam setelah melantunkan lawas. Lalu mereka berbicara. Kadang berbisik. Menyatakan cinta. Saling menerima. Berjanji. Sampai akhirnya sepakat untuk bersatu.

Sumber Foto: http://pics.lockerz.com
Tiba-tiba Nyale di permukaan laut hilang seketika, begitu cahaya langit menerpa permukaan laut. Mungkin sudah saatnya mandalika pergi. Pergi untuk selamanya. Karena perempuan bijak itu tidak mau bersaing dengan cahaya matahari. Cahaya yang ditiru dalam cintanya. Sudah saatnya untuk mengabdikan diri secara total pada alam semesta, pada manusia, dan pada kemanusiaan. Dan muncul setiap tanggal 20, bulan 10 dalam penanggalan Kalender Sasak. Muncul karena kesetiaan pada cintanya. Membahagiakan semua makhluk Allah. Kini para pencinta Mandalika itu beranjak meninggalkan air samudera. Para penangkap Nyale itu menuju pantai, membawa hasil tangkapan berlimpah yang harus dipikul. Seperti mereka yang memikul usungan tempat duduk Mandalika yang harus diarak menuju pantai beberapa jam yang lalu.

Sumber Foto: http://travel.detik.com
Mereka begitu bahagia ketika tiba di pantai. Lawas-lawas masih terdengar dilantunkan oleh muda-mudi yang beruntung saling menemukan pasangannya. Mereka begitu ceria, bersendagurau, bersenandung, menjalin rasa. Ketika itu ternyata para pangeran dan kerabat kerajaan yang menyertainya sudah tidak ada di pantai. Mereka sudah pulang. Mungkin agak kesal dan iri pada muda-mudi yang melantunkan lawas-lawas itu. Dikira mereka sedang menyindir para pangeran dan para petinggi kerajaan yang tidak dapat menaklukkan putri cantik itu. Saat ini, muda-mudi dari kalangan rakyat jelata lebih beruntung dari pangeran mereka. Selain mendapat Nyale sangat banyak, mereka juga menemukan pasangan cintanya. Sudah lebih dari cukup bagi mereka. Bagi rakyat jelata. Bagi kelompok komunitas yang dalam kasta-kasta sasak disebut “Jajar Karang
Sumber Foto: http://lombokhotelandtravel.com

Mungkin tindakan Mandalika adalah periode pertama. Sebelum munculnya Raden Ajeng Kartini menjadi periode kedua. Perempuan-perempuan cantik itu telah melakukan tindakan nyata untuk menyadarkan para pemimpinnya. Tentang hak-hak rakyat kecil, dan hak-hak perempuan. Tapi mandalika telah dituntun oleh cintanya. Dan melakukan penyadaran melalui Lawas Sambatnya, dan pengorbanannya”, kata Adhe sedikit menyentuh tentang sejarah pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Aku lumayan setuju dengan pendapat Adhe. Memang sejak tadi pagi Adhe bercerita tentang lawas-lawas itu. Mengungkapkan betapa lawas-lawas itu menggambarkan citanya Putri Mandalika sebagai cinta yang bersifat universal. Cintanya pada kebahagiaan sebagai tujuan cinta itu sendiri. Seperti cintanya Matahari memberi cahaya bagi semua. Seperti cintanya hukum-hukum alam yang berlakunya bagi siapapun, bahkan bagi apapun. Tapi aku belum pernah mendengan Adhe mengucapkan bunyi syair-syair lawas itu seperti apa?

Sumber Foto: http://yptravel.com
Terus, seperti apa bunyi syair-syair lawas itu?”, tanyaku singkat, karena sangat penasaran. Adhe cepat-cepat menjelaskan, bahwa lawas-lawas itu dalam bahasa sasak. Lawas (istilah dalam bahasa sasak), adalah bait-bait syair untuk mengungkapkan suatu keadaan yang dipandang sangat penting diketahui atau disadari kejadiannya oleh orang banyak, atau oleh kelompok yang dipadang berkepentingan. Umumnya lawas menggunakan gaya metafora, meskipun kadang ada juga yang bergaya sarkasme. Lawas diungkap, atau disampaikan dalam lantunan bunyi-bunyi suara yang melodis, melankolik, murung, sendu, muram, sedih, mengiba, atau semacamnya. Untuk tujuan tertentu, Lawas dapat juga disampaikan dalam bentuk suara berintonasi indah, bahkan ada yang dilntunkan dalam bentuk lagu. Peristiwa mengungkapkan, atau membunyikan syair-syair lawas dengan suara manusia, dalam bahasa sakak disebut Belawas, atau Ngelawas, atau Melawas.

Sumber Foto: http://wisata.kompasiana.com
Sedangkan Sambat (istilah dalam bahasa sasak), adalah ungkapan tentang kejanggalan (misalnya ketidakadilan, kesengsaraan, kerugian, dan lain-lain) yang menimpa dan bakal berdampak negatif yang berkepanjangan bagi diri sendiri, keluarga, atau kelompok yang dipihak. Pengungkapannya dapat dalam bentuk tutur kata, kalimat-kalimat berintonasi melodis, atau dalam bentuk lawas. Tujuan pengungkapan sambat adalah untuk medapat perhatian, pemihakan dan pembelaan. Agar dampak negatif kejadian dapat dihilangkan, atau dikurangi. Mengungkapkan sambat disebut Besambat, atau Besesambat, atau Nyambat.

Sumber Foto: http://www.i4pc.jp
Lawas Sambat Mandalika, telah diciptakan sendiri oleh Putri Mandalika sejak sehari keluar dari ruang semedi sampai hari ketiga. Mandalika bertujuan untuk mengkritik para pangeran yang begitu serakah dan para raja yang sering bertindak mengorbankan masyarakat yang dikuasainya. Mandalika menilai sesuatau yang sangat janggal, bahkan sangat tidak adil, jika cinta yang bernafsu dari para pangeran harus ditebus dengan perang yang akan melukai dan membunuh rakyatnya. Inspirasi yang bergetar dalam otak Mandalika tentang cinta sangat berbeda. Pemahanam mendalam yang dimiliknya tentang seberkas cinta digunakan untuk memberi pengertian kepada masyarakat luas, bahkan jika memungkinkan, diharapkan dapat membuat para pangeran menjadi mengerti dan paham. Pemahaman ini kemudian diracik dan dirajut menjadi Sambat dalam bentuk Lawas. Inilah yang disampaikan sebagai pengantar menuju pengumuman tentang keputusannya apakah akan menerima atau menolak cinta para pangeran itu.

Sumber Foto: http://visitlomboksumbawa.com
Ya ampuuuun ... !!! Adheeee..!!!”, ucapku memotong pembicaraan Adhe yang makin panjang dan berbelit-belit. Darahku terasa naik ke ubun-ubun. Kali ini bukan lagi penasaran tentang Lawas Sambat itu. Tapi aku sudah merasa marah diceramahi seperti ini. Aku sudah paham semua cerita itu. Aku sudah tidak sabar lagi mendengarkan ceramah itu. Aku ingin mendengar Lawas Sambat itu. Lalu, dengan suara lantang aku mengatakan lagi pada Adhe: “Iya....!!! Sekarang ini, saat ini juga, aku mau mendengar apa bunyi bait-bait syair itu. Ucapkan apa bunyinya. Kalau kamu gak bisa, bilang aja gak bisa ....!!! Atau, kalau kamu punya yang tertulis, aku mau lihat. Kalau gak punya yang tertulis, bilang gak punya...!!! Selesai urusannya.

Sumber Foto: http://anneahira.com
Aku membuang pandangan ke arah laut tenang di bawah langit senja itu. Tapi keindahan gurat-gurat merah lukisan senja itu tidak mampu menghibur untuk menurunkan tensi darahku. Tidak membuatku jadi lebih tenang. Emosiku masih bergelayut di otak. Ubun-ubunku masih berdenyut. Akupun juga merasakan kalau Adhe cukup kesal dengan sikapku. Dia pasti sangat kecewa. Tapi aku memang sedang marah. Aku tidak mau menyembunyikan emosiku. Jadinya,...... kesimpulan cerita saat ini: Adhe kesal dan aku marah. Mungkin dua bentuk emosi ini sedang cocok untuk bersanding. Kesal menimbulkan rasa kecewa, sedangkan marah menuntun untuk bertindak kasar. Sama dan sebangun.  Tapi kali ini, pikiranku masih menyimpan harapan. Agar peristiwa ini tidak bakal menimbulkan perang diantara kami berdua, apalagi perang berdarah.

Sumber Foto: http://lomboktransport.com
Aku tidak melihat apa yang sedang dilakukan Adhe, karena pandanganku masih sepenuhnya tertuju ke arah pantai. Tapi entah inderaku yang nomer berapa yang sedang bekerja sangat tajam dan sensitif. Aku dapat merasakan sesuatu yang tidak aku lihat. Adhe menatapku serius dari arah samping kiri. Mata indah itu melotot tajam. Ternyata dengan melotot malah membuat mata itu makin indah. Bening di bola hitam itu makin . . . . . . . . . . . . . ..............(Bersambung)




Daftar Referensi
Bahan diskusi dan bacaan sebelum menulis artikel ini bersumber dari:
Anonim, 1992 – 2012. Cerita tentang Putri Nyale dari mulut ke mulut, dari para tetua di Desa Jerowaru dan Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Mamiq Hartawang, 1992. Cerita dan diskusi secara langsung untuk belajar tentang legenda Putri Nyale. Mamiq Hartawang (Almarhum) adalah mantan Kepala Desa dan Tokoh Adat Desa Jerowaru. Nenek moyang beliau berasal dari Gunung Pujut Lombok Tengah, konon sekitar tempat beradanya Kerajaan Tonjang Beru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar